Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Jum'at, 22 Januari 2021 | 14:07 WIB
Rekonstruksi di lokasi ketiga rest area KM 50 Tol Jakarta Cikampek tempat laskar FPI akhirnya menyerah ke polisi, Senin (14/12/2020) dini hari WIB. (Suara.com/Tio)

SuaraJogja.id - Sejumlah akademisi di bidang hukum prihatin atas kejadian tewasnya 6 orang anggota FPI yang diduga akibat penembakan aparat kepolisian, dianggap sebagai pelanggaran HAM biasa, bukan pelanggaran berat. Terlebih lagi, Komnas HAM merekomendasikan kasus ini ke dalam mekanisme pidana. 

Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia Prof. Mudzakir menjelaskan, untuk mengetahui Implikasi dan tindak lanjut terhadap rekomendasi Komnas HAM atas penembakan 6 anggota FPI tersebut, maka harus mengetahui beberapa hal terlebih dahulu.

Pertama, apakah pembuntutan yang dilakukan oleh kepolisian sah? Alasan pembuntutan tersebut adalah tindakan pelanggaran kekarantinaan yang dilakukan oleh Riziq Shihab yang ancaman hukumannya tidak begitu berat. 

"Lantas timbul pertanyaan, apakah semua orang yang melakukan pelanggaran kekarantinaan selalu diperlakukan seperti itu? Jika tidak, seharusnya Komnas HAM menyadari adanya pelanggaran terhadap kesetaraan di depan hukum," kata dia, Jumat (22/1/2021). 

Baca Juga: Panas! Habib Husin Semprot Pandji Pragiwaksono: Semua Tahu Kelakuan FPI

Kedua, apakah polisi melakukan penembakan menggunakan seragam dan atau telah menunjukkan identitas atau belum? Apakah proses yang dilakukan sesuai dengan peraturan atau tidak?

"Terjadi beberapa kejanggalan, yakni adanya penemuan peluru oleh Komnas HAM, tetapi tidak disebutkan apakah peluru itu didapat dari TKP atau mendapat dari kepolisian. Kemudian, barang bukti sudah terlanjur mendapatkan banyak sentuhan dari kepolisian sehingga tidak terjaga orisinalitasnya," tambah dia.

Muncul pula pertanyaan atas berlebihan atau tidaknya, tindakan yang dilakukan oleh polisi. Termasuk, hal apa saja yang menyebabkan polisi harus melakukan penembakan di tempat.

"Padahal kejahatanya sudah masa lalu, karena pelanggaran protokol terjadi di beberapa hari sebelumnya," papar Mudzakir.

Sementara yang ketiga, apakah pembunuhan terhadap anggota FPI ini apakah termasuk pelanggaran HAM atau pembunuhan biasa? Menurut Mudzakir, berdasarkan rekomendasi nomor 1 milik Komnas HAM, peristiwa tersebut merupakan pelanggaran HAM. Tetapi rekomendasi selanjutnya adalah diselesaikan melalui pengadilan umum.

Baca Juga: Kritik Pandji Soal FPI, Ferdinand Hutahaean: Konyol! Sesat Fakta!

"Sedangkan seharusnya pelanggaran HAM artinya masuk ke kategori pelanggaran HAM berat. Maka hal ini menjadi membingungkan. Seharusnya rekomendasinya bukan pelanggaran HAM tetapi pembunuhan," tuturnya.

Kalau terjadi pelanggaran HAM berat, maka penyelidikan dan penyidikannya adalah Komnas HAM dan diselesaikan melalui pengadilan HAM. Kemudian jika pembunuhan, maka penyelidikan dan penyidikannya dilakukan oleh kepolisian dan diselesaikan melalui pengadilan negeri (umum).

"Sehingga yang dilakukan Komnas HAM dapat menimbulkan kebingungan di kemudian hari. Seharusnya rekomendasinya diberikan kepada Kejaksaan Agung, dan juga semua sudah siap. Maka Mahkamah Agung melakukan penuntutan terhadap terdakwa di pengadilan HAM," sambung pria yang jadi saksi ahli kasus suap PN Jakarta Pusat dengan terpidana Eddy Sindoro itu.

Di dalam keterangannya, Mudzakir sekaligus memberi kritik terhadap rekomendasi Komnas HAM. 

"Pertama, mengapa ada kata pelanggaran HAM tapi diselesaikan melalui jalur pidana? Kedua, adanya kemungkinan pelanggaran berat karena Komnas HAM tidak dapat menjelaskan keterlibatan orang-orang dalam dua mobil avanza. Ketiga, Komnas HAM perlu mengklarifikasi dari mana mendapatkan barang bukti, mengambil sendiri di lapangan padahal telah beberapa hari setelah kejadian komnas baru ke lapangan, atau dari kepolisian sedangkan barang bukti menjadi tidak proper karena telah jatuh ke tangan pihak lain," bebernya.

Implikasi rekomendasi itu yang muncul adalah tidak terjadi pelanggaran berat HAM, pengadilan HAM tidak kompeten dalam mengadili dan memeriksa pelaku oknum kepolisian. Selain itu, atasan dari kepolisian tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap tindakan yang dilakukan oleh bawahannya.

"Kemudian jika masuk ke pengadilan negeri, maka korban tidak memiliki legalstanding untuk mengajukan komplain di pengadilan HAM internasional," urainya.

Mudzakir menyebutkan, peristiwa penembakan itu harus dikaji dari sisi perbuatan yang mendahului (anofactum), perbuatan pembunuhan (factum), apa yang terjadi setelah pembunuhan dan perbuatan lanjutan, penyelidikan Komnas HAM (3 hari kemudian dan rekomendasi).

Tentunya hal itu memiliki konsekuensi, yaitu harus ditarik semua peristiwa yang mungkin dapat berkaitan dengan peristiwa ini. Sehingga terkuak hal apa yang menjiwai terjadinya pembunuhan itu.

"Jika dilihat dari antofactum sampai penyelidikan Komnas HAM, maka peristiwa ini dapat saja dikategorikan ke pelanggaran HAM berupa kejahatan kemanusiaan. Sehingga dapat memunculkan alternatif diadili di pengadillan HAM internasional," kata dia. 

Seharusnya yang disisir dari peristiwa ini adalah pelanggaran HAM berat. Tidak perlu adanya konteks ringan, berat dan sebagainya. Bisa jadi hal ini bergeser menjadi pelanggaran HAM berat, karena Komnas HAM membuat kesimpulan yang masih belum pasti, tandas Mudzakir.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengungkapkan, peristiwa yang terjadi di Km 50 merupakan penggunaan kekuatan dan senjata api yang berlebihan. Tindakan itu melanggar pedoman PBB yang disusun secara khusus untuk petugas penegak hukum, dalam hal ini pihak kepolisian.

Menurutnya, sedikitnya ada 3 prinsip yang bisa digunakan untuk membuktikan kesimpulan tersebut. Pertama prinsip legalitas, apakah tindakan itu dapat dibenarkan dalam konteks melindungi diri atau melindungi orang lain oleh aparat. Kedua, proporsional, tindakan yang diambil seharusnya masih dalam koridor proporsionalitas. Ketiga, akuntabilitas bahwa tindakan-tindakan itu harus bisa dipertanggungjawabkan.

"Sebagian dari hal-hal tersebut dapat dipenuhi oleh kepolisian. Tetapi dalam bukti-bukti dalam TKP, atau olah TKP meskipun oleh ahli-ahli secara independen, masih bisa meninggalkan pertanyaan yang belum terjawab," tutur eks Koordinator Kontras itu.

Menyikapi temuan Komnas HAM, seharusnya ada ada kerangka yang menurut Usman dapat digunakan oleh Komnas HAM. Dua kerangka ini bahkan bisa digunakan sekaligus.

Yakni UU 39 1999, yang pada intinya memberikan kewenangan kepada Komanas HAM untuk melakukan pemantauan termasuk penyelidikan. Hal ini dipergunakan untuk kepentingan penyelidikan yang bersifat projustisia. Oleh karenanya, kewenangan Komnas HAM dapat diarahkan ke UU no 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, yang memberikan kewenangan Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan yang bersifat projustisia.

"Sehingga Komnas tidak hanya sekedar reccomendatory tetapi dapat bersifat ajudikatif untuk ke tingkat kejaksaan sampai ke pengadilan," ungkap Usman.

Kejadian Karawang merupakan tindakan extra judicial killing, lanjut Usman. Karena 4 orang anggota FPI sudah berada di tangan kepolisian mendapatkan tindakan-tindakan penggunaan tindakan yang eksesif dan senjata api yang tidak diperlukan, yang menimbulkan korban meninggal.

Kontributor : Uli Febriarni

Load More