Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana
Jum'at, 05 Maret 2021 | 08:15 WIB
Ilustrasi boso walikan Jogja - (Suara.com/Rochmat)

SuaraJogja.id - Beragam bahasa tidak resmi bermunculan dari waktu ke waktu di Indonesia. Salah satunya "bahasa G", slang anak 90-an. Di Jogja pun, ada yang namanya "boso walikan Jogja".

Dalam lingkaran pertemanan era 90-an, biasanya tak asing di telinga para kawula muda saat mendengar "Nagantigi magaugu magakagan agapaga?"

Kalimat di atas artinya "Nanti mau makan apa?" Kok bisa? Ya tinggal diselipi huruf "g" saja di setiap suku kata, ditambah huruf vokal sesuai yang ada di suku kata itu.

Walaupun awalnya dipakai sebagai "kode rahasia", lama-lama banyak yang tahu juga tentang "slang G" ini; mungkin saja anak 90-an di seluruh Indonesia sudah tahu.

Baca Juga: Murni dan Autentik, Menu di Warung Burjo Ini Terkenal Legendaris

Bahkan bukan bahasa G saja, di daerah lain ada yang menggantinya dengan huruf "f", jadi untuk kalimat yang sama seperti di atas, terjemahannya jadi "Nafantifi mafaufu mafakafan afapafa?"

Mirip seperti bahasa G, bahasa F, dan sebagainya -- jika ada yang memakai 19 huruf konsonan lainnya -- Jogja juga punya, lo, bahasa gaul dengan ciri khas tersendiri. Namanya adalah basa walikan, atau boso walikan Jogja.

Sempat ramai di akhir 2019, spanduk bertulisan "Eling jaman kuliah [ingat zaman kuliah]: Poya mothig poya hoho. Sing penting rukun tekan tuwo yang penting rukun sampai tua]" beredar di dunia maya. Spanduk untuk Musyawarah Nasional Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Munas Kagama) itu menyertakan nama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di bagian bawah.

Gedung BNI 1946 Titik Nol Kilometer Yogyakarta - (SUARA/Eleonora PEW)

Meski belum diketahui pasti apakah ucapan tersebut benar-benar berasal dari Anies, tak sedikit yang lantas terhibur begitu beranggapan bahwa alumnus UGM yang kini jadi DKI 1 itu mengerti betul boso walikan Jogja, terlihat dari kalimat "poya mothig poya hoho" tadi. Memang, artinya apa, sih? Tunggu dulu.

Kata-kata seperti dab, dagadu, lodse, dan sebagainya merupakan contoh produk slang ala orang Jogja ini.

Baca Juga: Sst... Ada Kode Rahasia di Parasut Penjelajah Mars, Apa Itu?

Sama seperti slang G, boso walikan Jogja juga digunakan muda-mudi kota wisata ini pada era 1990-an.

Kendati begitu, menurut Paniradya Kaistimewan, bahasa ini sudah eksis sejak jauh di masa lalu, yaitu ketika masa penjajahan.

Sebelum dijadikan sebagai bahasa untuk menunjukkan keakraban dengan lawan bicara, sama lagi dengan bahasa G, boso walikan Jogja mulanya juga dipakai sebagai kode rahasia.

Konon, mulanya para pejuang di Jogja memakai boso walikan untuk mengelabui mata-mata kolonial yang mengerti bahasa Jawa supaya mereka tidak tahu apa yang sedang diobrolkan para pejuang Jogja ini.

Namun, bedanya dari bahasa G, boso walikan Jogja terenkripsi dengan metode penukaran pada aksara Jawa.

Jika rumus di slang G tinggal menyisipkan huruf "g", tidak begitu dengan boso walikan Jogja. Rumusnya sedikit lebih rumit.

Sesuai istilahnya, yang berarti "bahasa kebalikan", dalam rumus di boso walikan Jogja, setiap aksara dibalik menurut urutan dan barisnya.

Kawasan Tugu Pal Putih sudah bebas dari kabel-kabel di udara, Selasa (15/12/2020). - (SuaraJogja.id/Hiskia Andika)

Bukan pakai alfabet A, B sampai Z, boso walikan Jogja berpatokan pada aksara Jawa alias Hanacaraka, sistem abjad yang dipakai orang Jawa.

Ada 20 aksara dasar di aksara Jawa: ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, dha, ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha, dan nga.

Untuk lebih mudah menghafal ke-20 huruf itu sesuai urutan, biasanya orang-orang Jawa mengucapkannya dengan pembagian empat baris: hanacaraka, datasawala, padhajayanya, dan magabathanga.

Baris pertama ditukar dengan baris ketiga, dan baris kedua ditukar dengan baris keempat, tetapi urutannya di setiap baris tetap sama. Misalnya, "ha" berada di urutan pertama baris pertama, jadi diganti dengan urutan pertama baris ketiga, yaitu "pa". Contoh lainnya, di urutan ketiga baris kedua ada aksara "sa", sehingga pasangan aksara yang bisa ditukar adalah "ba", di urutan ketiga baris keempat.

Jadi, begini pasangan penukarannya: ha-pa, na-dha, ca-ja, ra-ya, ka-nya, da-ma, ta-ga, sa-ba, wa-tha, dan la-nga.

Boso Walikan Jogja - (Twitter/@PaniradyaJogja)

Biar lebih jelas, contohnya, kata "dagadu" berarti "matamu". Bagaimana bisa? Karena "ma" ditukar dengan "da", "ta" dengan "ga", dan lagi, "mu" dengan "du".

Lalu, kata "dab", yang artinya "mas", berasal dari penukaran "ma" dengan "da", ditambah "sa", yang ditukar dengan "ba", tetapi huruf konsonannya saja.

Masih banyak lagi kata-kata lainnya dari bahasa gaul muda-mudi Jogja ini. Berikut beberapa contohnya yang paling umum diucapkan:

  • dogoy = motor (sepeda motor)
  • dosing = mobil
  • hongib/hongibi = polisi
  • jape methe = cahe dewe (teman sendiri)
  • lodse = ngombe (minum)
  • mothig (dari muthig) = duwit (uang)
  • nyothe = kowe (kamu)
  • pagob = atos (keras)
  • pahin (dari pahiny) = apik (bagus)
  • poya = ora (tidak)
  • poya hoho = ora popo (tidak apa-apa)
  • poya mothig = ora [duwe] duwit (tidak punya uang)
  • pisu = ibu
  • sahan (dari sahany) = bapak (ayah)
  • sangi = bali (pulang)
  • soco = bojo (pasangan)
  • themon (dari themony) = wedok (cewek)
    dan masih banyak lagi

Sudah paham belum? Sudah menemukan arti "poya mothig poya hoho"?

Lalu misalnya, kalau "SuaraJogja" menjadi "BupayaCotca", coba, kalau nama lengkap kamu diganti pakai boso walikan Jogja, jadinya apa?

Load More