SuaraJogja.id - Matahari bersinar terang menghasilkan terik siang yang panas menimpa kulit. Setelah beberapa kali bertanya arah dan mengandalkan peta digital, akhirnya sampai di sebuah rumah sederhana dengan banner besar bertuliskan 'Difabel Zone'. Lengkap dengan logonya seorang manusia yang duduk di atas kursi roda.
Sampai di pekarangan rumah yang digunakan untuk menjemur padi, disambut pula dengan sekelompok difabel yang tengah menjalani aktivitas mereka sebagai pengrajin batik. Beberapa penyandang tuna daksa nampak duduk berlesehan di lantai yang dingin sambil memegang selembar kain dan canting berisi malam.
Dari beberapa orang yang tengah menorehkan lilin di atas pola kain batik, mereka semua memiliki cara tersendiri dalam membatik. Entah dengan tangan kanan atau tangan kirinya. Bahkan, ada juga yang menggunakan kaki untuk menuangkan lilin yang panas di atas garis-garis halus dari pensil.
Seorang wanita bernama Lidwina Wurie dikenal sebagai pendiri komunitas tersebut. Bukan hanya merangkul penyandang disabilitas, Difabel Zone didirikan sekaligus untuk membuka lapangan kerja dan melatih kemandirian. Menurutnya, lapangan kerja bagi difabel masih sangat terbatas.
Dengan begitu, melalui komunitas ini, perempuan yang akrab disapa Wina itu mengatakan harapannya agar bisa memberikan kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas. Terutama, difabel yang berada di usia produkti, Wina ingin memberikan kesempatan untuk berkarya dan bekerja.
"Lapangan kerja yang bisa menampung teman-teman difabel masih terbatas sehingga berharap komunitas ini bisa memberikan kesempatan kerja sekaligus menjadi wadah untuk teman-teman difabel bisa mandiri dan berkarya mengingat beberapa difabel adalah usia produktif," ujar Wina saat dihubungi, Minggu (30/5/2021).
Nama Difabel Zone disematkan dalam komunitas itu dengan tujuan agar bisa lebih mudah ditemukan oleh sesama penyandang difabel, sehingga mereka bisa merasa solid, senasib sepenanggungan, sebab semua pembatik di tempat itu merupakan difabel.
Wina sengaja merangkul penyandang difabel lantaran menilai difabel, dengan kategori sedang ke berat, sangat terbatas mobilitasnya. Mereka juga disebut rentan cedera, sehingga keterampilan membatik dinilai cukup sesuai untuk mereka. Meskipun hal tersebut juga dilakukan dengan gerakan dan fisik yang terbatas.
Selama beberapa tahun membangun Difabel Zone, yakni sejak tahun 2017, Wina mengatakan bahwa dirinya suka berada di antara penyandang disabilitas. Ada banyak pembelajaran hidup yang membuat kebahagian dan rasa syukur yang sesungguhnya lebih terasa.
Baca Juga: Dikabarkan Hilang, Seniman Jogja DItemukan Tewas di Bengawan Solo
"Melihat teman-teman lebih percaya diri dan optimis melihat masa depan membawa kesukaan tersendiri," ungkapnya.
Namun, perjalanan selama empat tahun ini juga bukan tanpa hambatan. Wina mengatakan masih banyak orang yang meragukan karya dari anggota Difabel Zone. Selain itu, anggota yang bekerja di komunitas itu juga harus terus diberikan motivasi.
Emosional yang kerap kali naik dan turun, serta sakit fisik yang kerap didera sakit menjadi penghalang dari masing-masing pribadi difabel. Meski demikian, Wina nampaknya cukup berhasil membangun lapangan kerja bagi difabel. Berawal dari sepuluh orang, sampai saat ini ada hampir 25 orang yang mencari nafkah di tempat itu.
"Di tengah segala keterbatasan ternyata teman-teman difabel bisa dan mampu bekerja produktif menghasilkan karya batik yang luar biasa. Di luar pemikiran nalar ketika cedera berat motorik gerak tangan masih bisa membatik walau dengan tangan kiri," imbuhnya,
Wina berharap kedepannya semakin banyak penyandang disabilitas yang mendapatkan kesempatan untuk berkarya. Produksi hasil karya tangan mereka juga bisa mendapatkan lebih banyak apresiasi dari masyarakat luas, setara dengan hasil karya masyarakat pada umumnya. Serta, konsep inklusi bisa segera terwujud antara difabel dan non-difabel.
Salah satu pegawai, Suhartono menceritakan jika dirinya sudah bekerja di Difabel Zone sejak komunitas itu terbentuk. Sebagai penyandang tuna daksa, Suhartono bertugas untuk membuat desain dari batik yang akan dikerjakan oleh rekan-rekannya. Gambar yang dibuat pun hanya sederhana, digambar di atas kain kemudian ditumpuk dengan malam untuk menjadi batik.
Berita Terkait
-
Dikabarkan Hilang, Seniman Jogja DItemukan Tewas di Bengawan Solo
-
Mensos Risma Beri Motor Roda Tiga ke Remaja Difabel di Pekalongan
-
SAPDA Bagikan 1.750 Sembako Bantu Kelompok Rentan di Kota Yogyakarta
-
Difabel Jual Gas Keliling, Demi Anaknya Bisa Masuk ke Pesantren
-
Difabel di Tegal Jual Gas Keliling dan Mengajar demi Anaknya ke Pesantren
Terpopuler
- 2 Cara Menyembunyikan Foto Profil WhatsApp dari Orang Lain
- Selamat Datang Mees Hilgers Akhirnya Kembali Jelang Timnas Indonesia vs Arab Saudi
- Omongan Menkeu Purbaya Terbukti? Kilang Pertamina di Dumai Langsung Terbakar
- Selamat Tinggal Timnas Indonesia Gagal Lolos Piala Dunia 2026, Itu Jadi Kenyataan Kalau Ini Terjadi
- Sampaikan Laporan Kinerja, Puan Maharani ke Masyarakat: Mohon Maaf atas Kinerja DPR Belum Sempurna
Pilihan
-
Bursa Saham 'Pestapora" di Awal Oktober: IHSG Naik, Transaksi Pecahkan Rekor
-
165 Kursi Komisaris BUMN Dikuasai Politisi, Anak Buah Prabowo Merajai
-
5 Rekomendasi HP 2 Jutaan Memori 256 GB, Pilihan Terbaik Oktober 2025
-
Geger Shutdown AS, Menko Airlangga: Perundingan Dagang RI Berhenti Dulu!
-
Seruan 'Cancel' Elon Musk Bikin Netflix Kehilangan Rp250 Triliun dalam Sehari!
Terkini
-
Geger SPBU Gito Gati Dicurigai Jual Pertamax Tercampur Solar, Pertamina Angkat Bicara
-
'Jangan Main-main dengan Hukum!' Sultan HB X Geram Korupsi Seret Dua Mantan Pejabat di Sleman
-
Rektor UII Pasang Badan: Jamin Penangguhan Penahanan Aktivis Paul yang Ditangkap di Yogyakarta
-
Sisi Gelap Kota Pelajar: Imigrasi Jogja Bongkar Akal-akalan Bule, Investor Bodong Menjamur
-
Jejak Licik Investor Fiktif Yordania di Jogja Terbongkar, Berakhir di Meja Hijau