Scroll untuk membaca artikel
Yasinta Rahmawati
Kamis, 17 Juni 2021 | 17:25 WIB
Ilustrasi dokter dan stetoskop. (Shuttterstock)

Adapun hal yang perlu dilakukan selanjutnya adalah memperbaiki Pasal 22 dalam UU SJSN da melengkapi PMK 51/2018, peraturan teknis/ pedoman cost sharing untuk penyakit katastropik bagi peserta JKN kelompok Mandiri yaitu PBPU.

Doni Arianto perwakilan dari Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (PPJK) Kemenkes mengarisbawahi bahwa masalah utama di Indonesia adalah ketimpangan dan pelayanan. Terkait cost sharing, Doni menyampaikan inti terselenggaranya cost sharing hanya bisa dilakukan dengan mengubah regulasi dasar. Doni menekankan regulasi sekarang tidak memungkinkan untuk menerapkan cost sharing.

Di sisi lain dari segi pelaksana JKN, Agus Mustopa perwakilan BPJS Kesehatan (BPJS-K) menceritakan kondisi BPJS-K pada awal tahun diberitakan mengalami surplus. Namun Agus menekankan, faktanya BPJSK belum bisa disebut dalam kondisi surplus.

Tahun ini BPJSK terus memantau kondisi keuangannya. Dikaitkan dengan topik cost sharing, BPJS-K mendukung upaya eksplorasi sumber pembiayaan yang membuat beban APBN tidak tambah berat.

Baca Juga: Pola Makan Rendah Lemak vs Tinggi Nabati, Mana yang Lebih Baik untuk Jantung?

Kondisi keuangan per akhir 2020 belum dapat dikategorikan sehat. Iuran saat ini menjadi sumber pendanaan, tapi juga kenaikan iuran juga menjadi beban masyarakat.

Menambahi pernyataan Agus, perwakilan BPJS-K, Elsa Novelia memaparkan bahwa berdasarkan data sampel hingga 2018 dinamikanya masih sama dengan data 2020, yakni penyakit katastropik mengambil proporsi 25% pembiayaan kesehatan.

Terkait cost sharing, Elsa menyatakan dalam mengembangkan cost sharing dan memilih sebuah layanan ini apakah dibiayakan dalam cost sharing apa tidak akan pada marwah JKN yakni finansial protection. Elsamenekankan bahwa biaya yang besar jika tidak dijaminkan maka memiskinkan peserta.

Load More