Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Muhammad Ilham Baktora
Senin, 23 Agustus 2021 | 13:22 WIB
ilustrasi pengayuh becak. [Ema Rohimah / SuaraJogja.id]

SuaraJogja.id - Terik panas siang itu, tak menjadi penghalang bagi Pardi mengantar dua penumpang di Jalan KH Ahmad Dahlan, Kelurahan Ngupasan, Kemantren Gondomanan, Kota Jogja. Sesekali tangan coklat sawo matangnya menyeka peluh keringat yang mengalir di dahinya. 

Hampir seharian menunggu di sekitar Kantor Pos Indonesia Titik Nol Kilometer, baru pukul 11.30 wib, pria 50 tahun ini mendapat pelanggan. Itupun hanya Rp10 ribu.

Walau begitu menyerah sepertinya tak ada dalam kamus hidupnya. Lembaran Rp10 ribu ia kantongi lalu bergegas mencari penumpang lain di sekitar Taman Parkir Ngabean.

Kayuh pedalnya sejenak berhenti saat SuaraJogja.id melambaikan tangan kepada ayah 3 anak tersebut. Sambil turun dari sadel becaknya, Pardi sedikit kebingungan.

Baca Juga: Gelang Vaksin Disebut Tak Awet, Begini Penjelasan Pemkot Jogja

Pardi, pengayuh becak asal Bantul, DIY tengah melintas di sekitar Taman Parkir Ngabean, Minggu (22/8/2021). [Muhammad Ilham Baktora / SuaraJogja.id]

Ia mengira, ada penumpang lain yang harapannya bisa menjadi hasil lebih untuk dibawa pulang. Pardi tak menampik di tengah kondisi Covid-19 ini pendapatannya menurun drastis.

"Dulu itu bisa sampai Rp150-200 ribu pendapatan saya per hari. Bahkan saat akhir pekan bisa sampai setengah juta," kata Pardi membuka pembicaraan saat ditemui di Taman Parkir Ngabean, Minggu (22/8/2021).

Ia mengaku saat tak ada pandemi Covid-19, hampir tiap jam dia bisa mengantar penumpang dari Titik Nol Kilometer sampai ke Taman Parkir Ngabean atau sebaliknya.

Pardi menjelaskan selama ini dirinya menyewa becak milik seorang mandor di Bantul. Dirinya membayar Rp5 ribu untuk tarif sewa per hari.

Mematok tarif Rp10-15 ribu sekali angkut, Pardi mengingat bisa mengantar 15 sampai 20 orang setiap harinya.

Baca Juga: Soal Aturan 2 Jam Berkunjung di Malioboro, Ini Respons Wisatawan dari Luar Jogja

Dengan penghasilannya setiap hari dari mengayuh becak, Pardi bisa menyekolahkan 3 anaknya hingga lulus SMA. Beruntung, saat ini anaknya telah bekerja dan satu orang sudah berkeluarga.

Selain untuk menyekolahkan anaknya, penghasilannya dari mengayuh becak juga digunakan untuk melunasi rumahnya di Bantul. 

Bertaruh nyawa di jalanan

Hampir 30 tahun lamanya Pardi bekerja sebagai pengayuh becak. Beragam cerita baik suka dan duka kenyang dilahapnya selama hidup di jalanan sebagai pengayuh becak.

Pada usia 24 tahunan masyarakat masih banyak yang menggunakan transportasi tradisional termasuk becak. Kendaraan umum juga cukup banyak namun kondisi waktu itu, menurut pardi tak terlalu berbahaya.

Era 2000-an hingga 2010-an adalah masa yang selalu ia waspadai ketika berada di jalan raya. Tak jarang ia nyaris terserempet bahkan sampai terguling ketika membawa penumpang.

"Ya sampai sekarang harus ekstra waspada. Kadang kami juga harus mengalah karena jika tidak, malah kami yang celaka," jelas dia.

Sekitar tahun 2012 pardi hampir terjatuh saat disalip oleh mobil di sekitar Jalan Bantul. Ketika dirinya berbelok, dari arah berlawanan juga muncul mobil yang berbelok ke jalan yang sama.

Pardi yang terkejut, otomatis menarik rem becak mendadak, mobil tersebut terus tancap gas dan menyenggol bagian depan becaknya.

"Saya misuh (mengumpat) ke mobil itu. Dia sempat berhenti pelan, lalu malah melanjutkan perjalanan lagi," kenang dia.

Untungnya tak sampai membuat becak sewanya rusak parah.

Pardi, pengayuh becak asal Bantul, DIY tengah melintas di sekitar Taman Parkir Ngabean, Minggu (22/8/2021). [Muhammad Ilham Baktora / SuaraJogja.id]

Kisah pun berlanjut, Pardi cukup beruntung saat itu. Namun sekitar usianya menginjak 40 tahunan, momen mencari penghasilannya berujung pahit. Pardi dan dua penumpangnya terjungkal oleh pengendara motor yang diketahui sedang mabuk.

Tepatnya di sekitar Taman Parkir Ngabean pukul 21.00 wib. Kondisi jalan yang turun membuat laju becak makin kencang, dari arah berlawanan datang motor yang ikut melaju kencang hendak berbelok.

"Saya yakin dari awal bisa menabrak itu, akhirnya saya sedikit ke tengah karena motor mau belok. Bukannya belok malah ikut ke tengah, akhirnya tabrakan terjadi," kata dia.

Dua penumpang pria dan wanita mengalami luka lecet, Pardi mengalami luka lecet hingga memar di bagian tangan dan kaki. Pardi masih bisa berjalan dan menemui pengendara itu.

Tak ada rasa bersalah dari pengendara motor, dalam kondisi hilang pikiran karena mabuk, pria tersebut menyalahi Pardi. Bahkan warga lain menuding Pardi yang salah saat itu.

"Iyalah pengendara di sana ternyata warga di dekat Ngabean itu. Ya sudah akhirnya saya semua yang tanggungjawab," keluh dia.

Ia menduga jika hampir semua pengayuh becak mengalami kejadian pahit seperti itu. Sehingga kewaspadaan yang perlu ia lakukan ketika di jalan raya.

Cobaan di tengah pandemi

Disinggung mengenai kondisi saat ini, Pardi mengangguk bahwa situasi sekarang bisa dibilang jauh lebih sulit ketimbang segala cerita yang pernah dialaminya.

Saat pandemi melanda, ia dalam sehari saja, berangkat pukul 06.00 wib sampai pulang pukul 15.00 wib pernah hanya 1 penumpang yang dia antar.

"Dibilang sulit sudah bukan sulit lagi, sudah di ujung tanduk. Sehari hanya 1 orang penumpang. Bahkan pernah sehari hanya duduk di atas becak saja, ya tidak ada penumpang," keluh dia.

Pardi pun hanya bisa pasrah. Apalagi segala upaya juga sudah dilakukan keluarga untuk mengisi periuk nasi di rumah.

"Sekarang ini ya selain saya, istri saya juga menjadi buruh lepas di rumah produksi karak atau kerupuk dari nasi untuk bantu nambah penghasilan tapi ya situasi ini tetap saja masih kurang. Ya sekarang jika ada bantuan-bantuan yang bisa diandalkan itu yang bisa diharapkan," terang dia.

Pardi sendiri mengaku tak begitu takut dengan bahaya Covid-19. Pasalnya kakek 3 cucu ini sudah mendapat vaksin dua kali dosis. Mengenakan masker yang dia lakukan agar terhindar dari penularan.

Tak hanya kisah Pardi saja yang mendeskripsikan begitu sulitnya pengayuh becak bertahan di tengah pandemi. Karyono dan Suratman juga mengalami hal serupa.

Suratman yang hampir 40 tahun bekerja sebagai pengayuh becak merasakan keterpurukan pada dua tahun belakangan. Ia yang tiap beroperasi di Jalan Malioboro tak memiliki pendapatan pasti saat Covid-19 merajalela di Kota Pelajar.

"Saat ini mau bergantung dengan wisatawan sudah sulit. Pemerintah menutup pintu masuk kota, walaupun di malioboro (jalan) dibuka lagi, tapi percuma jika pintu utama kota ditutup semua," keluh Suratman.

Suratman, pengayuh becak asal Jogja ketika mendorong becak miliknya untuk kembali mencari penumpang di sekitar Jalan Bhayangkara, Kota Jogja, Minggu (22/8/2021). [Muhammad Ilham Baktora / SuaraJogja.id]

Bagi Karyono pekerja becak bergantung pada pendapatan tiap harinya. Berapapun yang didapat hari ini, jumlah itu yang akan digunakan untuk makan hari itu juga.

Dirinya tak menampik jika PPKM yang diberlakukan pemerintah sudah sangat buruk. Tak adanya kebijakan yang solutif bahkan menjadi dilema bagi pembecak. Tidak adanya wisatawan, pembecak baru lima hari kemudian beroperasi kembali.

"Ya ada yang mengikuti kondisi atau waktu hari libur. Biasanya kan ramai pada waktu itu, meskipun sampai di lokasi, justru tidak ada penumpang," ujar dia.

Ia juga mengatakan bahwa ada beberapa rekannya yang meninggal saat menunggu di atas becak. Meski tidak tau penyebab pastinya, kejadian tersebut tak jauh dari kondisi PPKM saat ini.

"Kalau tidak narik, 3-5 hari mau makan apa.  Lama-lama bukan takut karena Corona, tapi takut mati kelaparan," katanya.

Saat ini pengayuh becak tak banyak bisa berharap. Pasrah mungkin menjadi salah satu hal yang dapat mereka lakukan. Uluran tangan memang membantu, namun hanya sedikit meringankan beban hidup mereka di situasi seperti ini.

Load More