Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Jum'at, 03 September 2021 | 14:11 WIB
Warga Gunungkidul terpaksa tinggal di kandang tengah hutan akibat jeratan rentenir. [Kontributor / Julianto]

"Saya simpan sendiri bersama suami. Coba kita hadapi,"tambahnya.

Untuk menjual barang yang ia miliki pun adalah hal yang tidak mungkin. Karena ketika menjual barang miliknya maka orangtuanya akan mengetahui persoalan yang menderanya.

Rasa frustasi semakin membuatnya kalut. Bahkan sempat terlintas untuk mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Namun beruntung, Tuhan masih mengingatkannya karena setiap kali keinginan bunuh diri muncul, selalu terbayang wajah anaknya.

Ilustrasi stres (Pixabay).

Dirinya pun menuangkan kekalutannya ke sebuah blog pribadinya. Semua yang ia alami dan rasakan tersebut masuk dalam blog tersebut. Hingga akhirnya ada seseorang dari Surabaya membaca blog pribadinya dan lantas menghubunginya.

Baca Juga: Kuota Kerap Habis di Kotanya, Gadis Asal Sukoharjo Ini Nekat Ikut Vaksinasi di Gunungkidul

"Orang tersebut akhirnya memberi pencerahan. Dan memberikan solusi,"tambahnya.

Pria asal Surabaya tersebut akhirnya menyarankan agar dirinya membuang handphone dan mengganti dengan nomor yang lain. Selain itu ia juga diminta tidak menghiraukan teror-teror yang masuk serta tidak perlu khawatir dengan black list BI Cheking.

Akhirnya perlahan-lahan teror tersebut berkurang dan sudah tidak ada lagi. Kekhawatiran black list BI Chekingpun tak terbukti karena dirinya masih bisa mengajukan pinjaman ke perbankan dan selalu disetujui.

"Persoalan Pinjol sebenarnya hanyalah mental. Harus kuat mental menghadapi teror pinjaman online. Tagihan itu hanya gertakan, tidak terbukti,"tambahnya.

Dihisap Tujuh Lintah Darat

Baca Juga: Terpuruk Akibat PPKM, Pelaku Wisata Gunungkidul Terpaksa Jual Ternak untuk Bayar Angsuran

Ngadiono (52) dan Sumini (44) pasangan suami istri asal Padukuhan Kedungranti Kalurahan Nglipar Kapanewon Nglipar Gunungkidul ini sudah 4 bulan tinggal di kandang sapi ukuran 2 x 2,5 meter. Bersama dua anaknya, pasangan suami istri ini berbagi dengan 3 ekor sapi yang mereka pelihara.

Kandang tersebut berada di bantaran Sungai Oya di mana setiap musim penghujan selalu terendam banjir. Sebagai kamar multifungsi, ia menyekat ruang ukuran 1x1 meter dan mengelilinginya dengan plastik terpal. Kasur yang ia letakkan juga sangat tipis hanya dengan ketebalan 3 cm.

Sementara untuk mandi dan mencuci, keluarga ini mengambil air dari Sungai Oya yang ada di dekat kandang tersebut. Namun untuk memasak, mereka masih meminta kepada tetangganya. Untuk memasak, ia membuat tungku seadanya di luar kandang.

Ngadiono menceritakan alasan mengapa ia bersama keluarganya tinggal di kandang dekat dengan sungai. Karena rumah satu-satunya yang mereka miliki sudah dijual untuk menutup hutang. Untuk tinggal di tempat saudara, adalah hal yang tidak mungkin karena mereka memiliki banyak anak.

Ilustrasi Dibebani Hutang (freepik)

Tahun 2007 yang lalu sebenarnya mereka mendapat bantuan pembangunan rumah sederhana dari sebuah lembaga sosial yang perduli korban gempa 2006. Rumah permanen tipe kecil dibangun di atas tanah miliknya pemberian orangtuanya.

Saat itu Ngadiono sudah memiliki usaha sablon kecil-kecilan dan sang istri menjadi pedagang sayur keliling. Karena mereka memiliki anak yang masih kecil-kecil akhirnya keluarga ini mulai berani mengajukan hutang. Mereka berhutang ke beberapa lembaga keuangan.

Load More