Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Sabtu, 18 September 2021 | 15:32 WIB
Ilustrasi kekerasan seksual, pelecehan seksual - (Suara.com/Ema Rohimah)

SuaraJogja.id - Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual diubah nomenklaturnya menjadi Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Terhadap kondisi ini, ada sejumlah catatan yang krusial.

Beberapa catatan krusial itu dijabarkan oleh Peneliti Bidang Riset dan Edukasi Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, yakni Melani Aulia Putri Jassinta, kala dihubungi, Sabtu (18/9/2021).

"Kami minta kepada pemerintah untuk mengembalikan draft RUU kepada RUU PKS. Karena secara substansi lebih mengakomodasi kebutuhan hukum dan mengatur konsepsi kekerasan seksual dengan lebih menyeluruh," ujarnya.

Tangkapan layar draft Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dalam rapat pleno Baleg DPR RI, di Jakarta, Senin (30/8/2021). Antara/Fauzi Lamboka

"Selain itu, di dalamnya perlu tambahkan ketentuan mengenai pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi, penyiksaan seksual dan kekerasan seksual berbasis daring," lanjut Melani.

Baca Juga: Akademisi PSHK UII: Dalam UU Tak Dikenal PPKM, Kembalikan ke UU Kekarantinaan Kesehatan

Selanjutnya, PSHK UII mendorong pemerintah segera mengesahkan RUU Kekerasan Seksual. Mengingat, semakin maraknya kasus kekerasan seksual dengan penegakan yang belum sepenuhnya berpihak pada korban dan belum sepenuhnya memberikan keadilan dan kepastian hukum pada korban.

Diketahui, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual mengatur poin mengenai pelecehan seksual fisik dan non-fisik, pemaksaan alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, eksploitasi seksual.

"Dalam RUU TPKS belum mengatur seputar pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi, penyiksaan seksual dan kekerasan seksual berbasis online yang juga menjadi isu yang sangat krusial dalam kasus kekerasan seksual," imbuhnya.

Menurut dia, munculnya draft RUU PKS (yang kemudian dalam draft terbarunya diubah nomenklaturnya menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS)), sebetulnya menunjukkan adanya sinyalemen positif dari pemerintah terkait dengan komitmen pemerintah untuk memperbaiki budaya hukum di Indonesia yang lebih berpihak pada korban kekerasan seksual.

Hanya saja perlu dipahami bersama, perubahan nomenklatur berdampak sangat signifikan terhadap substansi materi yang diatur.

Baca Juga: Rangkap Jabatan Rektor, PSHK UII: Membuka Ruang Intervensi Terhadap Rektor

Dalam RUU PKS diatur secara komprehensif mengenai prinsip-prinsip dan ruang lingkup penghapusan kekerasan seksual, hak-hak korban dan keluarga korban, serta berfokus pada upaya-upaya pencegahan, perlindungan, penanganan dan pemulihan yang tidak terbatas pada pidana.

Sedangkan dalam RUU TKPS, substansi materi yang diatur hanya berfokus pada pemidanaan kekerasan seksual.

Ia menekankan, konsepsi pengaturan mengenai kekerasan seksual di Indonesia masih kurang memadai dan sangat memerlukan pengaturan yang komperehensif dan mendetail mengenai kekerasan seksual.

"RUU TKPS terbaru belum cukup memenuhi kebutuhan hukum tersebut," ucapnya.

Kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan dan bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan, lanjut Melani.

Komnas Perempuan telah menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual. Pada 2017, tercatat ada 392.610 kasus kekerasan terhadap perempuan. Jumlah itu bertambah 16,5% pada 2018 menjadi 406.178. Kenaikan kembali terjadi pada 2019 hingga mencapai 431.471 kasus.

Infografis kekerasan seksual di kampus Yogyakarta - (Suara.com/Ema Rohimah)

Kekerasan seksual erat kaitannya dengan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Sehingga memberikan dampak yang sangat luar biasa kepada korban. Di antaranya penderitaan fisik, psikis, kesehatan, ekonomi, dan sosial hingga politik.

Dampak tersebut semakin menguat ketika korban adalah bagian dari masyarakat yang marginal secara ekonomi, sosial, dan politik, atau mereka yang memiliki kebutuhan khusus seperti penyandang disabilitas dan anak.

Konstitusi, sebut Melani, menjamin hak-hak setiap warga negara untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat manusia. Berhak atas rasa aman sebagai bagian dari hak asasi manusia.

Perlindungan, penegakan, pemajuan dan pemenuhan atas hak-hak tersebut adalah kewajiban dan tanggung jawab pemerintah.

"Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini, belum mampu mengakomodasi kebutuhan penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual. Belum mampu menciptakan proses penegakan dengan pendekatan yang lebih ramah bagi korban kekerasan seksual," tegas dia.

Kontributor : Uli Febriarni

Load More