SuaraJogja.id - Tawuran geng antarpelajar di DIY kembali terjadi. Belum lama ini geng Stepiro (Serdadu Tempur Piri Revolution) bentrok dengan geng Sase (Satu Sewon) pada 29 September 2021 lalu di Jalan Ringroad Selatan, Kalurahan Tirtonirmolo, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul pukul 02.30 WIB.
Dari kejadian itu dua orang dari pihak Sase menjadi korban. Pertama, MKA (18) yang mengembuskan napas terakhir setelah dirawat di rumah sakit selama 10 hari. Kedua, RAW (17) menderita luka sabetan senjata tajam pada bagian dada.
Polres Bantul pun menangkap 11 orang terduga pelaku dari geng Stepiro. Tiga diantaranya masih di bawah umur.
Psikolog Klinis Ida Nur Faizah mengungkapkan, perilaku agresif anak terhadap kekerasan berkaitan dengan tahap perkembangan. Di usia remaja, anak dalam fase pencarian jati diri.
Baca Juga: Terduga Pelaku Geng Stepiro Klaim Jadi Korban, Polisi: Silakan Melapor
“Mereka lebih suka eksplorasi. Kalau dilihat dari kecerdasan emosinya, mereka masih dalam tahap menggebu-gebu," katanya dihubungi wartawan pada Selasa (16/11/2021).
Menurut Ida, emosi mereka yang masih terbilang labil membuatnya menyukai tantangan. Sehingga dibutuhkan peran orang tua untuk mengurai mengapa hal itu bisa terjadi.
"Artinya perilaku kekerasan pada pelajar dikarenakan dari faktor keluarga," jelasnya.
Ia beranggapan para pelaku tersebut adalah pelajar yang kurang mendapat perhatian dari orang tuanya. Ini tidak lepas dari pola pengasuhan yang permisif.
"Jadi sekarang ini orang tua enggak tahu anaknya pergi kemana. Tidak tahu siapa saja temannya dan apa yang dilakukan di luar sana, terserah si anak," ujar dia.
Baca Juga: Terduga Pelaku Tawuran Geng Stepiro Ditahan, Keluarga Ungkap Dua Permintaan
Faktor finansial pun tidak melulu memicu terjadinya tindak kekerasan. Secara umum, mereka berasal dari keluarga yang berkecukupan.
"Orang tuanya tidak sadar bahwa anaknya tidak butuh uang tapi butuh perhatian dan kasih sayang," katanya.
Menyoal nyali mereka ketika tawuran menggunakan senjata tajam (sajam) berupa pedang dan celurit, sambungnya, bisa jadi karena faktor pergaulan. Apabila setiap nongkrong membicarakan tentang kekerasan sehingga kekerasan menjadi hal yang lumrah.
"Jadi jika kerap ngobrol soal kekerasan maka melukai orang lain dengan sajam merupakan hal yang lumrah. Walau ini dalam pandangan masyarakat tentu tidak normal," paparnya.
Diakuinya bahwa efek dari pembicaraan kekerasan bisa menghilangkan rasa takut. Bahkan rasa bersalah juga tidak ada saat melakukan aksi kekerasan.
"Mereka baru merasa bersalah setelah berbuat kekerasan atau ada yang terluka," imbuhnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Cerita Pemain Keturunan Indonesia Tristan Gooijer Tiba di Bali: Saya Gak Ngapa-ngapain
- Review dan Harga Skincare GEUT Milik Dokter Tompi: Sunscreen, Moisturizer, dan Serum
- 5 Motor Matic Bekas Murah: Tampang ala Vespa, Harga Mulai Rp3 Jutaan
- Harley-Davidson Siapkan Motor yang Lebih Murah dari Nmax
- Simon Tahamata Dihujat Pendukung RMS: Ia Berpaling Demi Uang!
Pilihan
-
Shayne Pattynama Tulis Prediksi Skor Timnas Lawan China di Sandal
-
7 Rekomendasi HP Kamera 108 MP Terbaik 2025: Layar AMOLED, Harga Rp2 Jutaan
-
Manchester United Hancur Lebur: Gagal Total, Kehabisan Uang, Pemain Buangan Bersinar
-
Srikandi di Bali Melesat Menuju Generasi Next Level Dengan IM3 Platinum
-
30 Juta Euro yang Bikin MU Nyesel! Scott McTominay Kini Legenda Napoli
Terkini
-
Lewat Bola dan Sponsorship di GFL Series 3, BRI Tanamkan Nilai Positif ke Anak Muda
-
Hadiah Digital yang Bangkitkan Solidaritas Sosial, Klaim 3 Link Saldo DANA Kaget Ini
-
Moratorium Hotel Sumbu Filosofi Diberlakukan, PHRI Desak Penertiban 17 Ribu Penginapan Ilegal
-
Kelanjutan Soal Besaran Pungutan Ekspor Kelapa, Mendag Ungkap Hal Ini
-
Kabupaten Sleman Diganjar ANRI Award, Bupati Ungkap Strategi Jitu Pelestarian Arsip