Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Selasa, 30 November 2021 | 14:53 WIB
[Suara.com/Ema Rohimah]

SuaraJogja.id - DPK Asosiasi Pengusaha Indonesia Kabupaten Sleman menyatakan keberatan atas nominal upah minimum kabupaten (UMK) Sleman yang telah ditetapkan. 

Ketua DPK Apindo Sleman Sigit Yuwono mengatakan, sebagai pengusaha sebenarnya berat melaksanakan keputusan tersebut, karena harus diakui saat ini keberlangsungan perusahaan dalam kondisi yang sangat-sangat sulit. Misalnya saja seperti diketahui pada masa pandemi apalagi waktu PPKM darurat, mayoritas perusahaan hanya diizinkan beroperasi satu shift. 

"Padahal di Kabupaten Sleman ini rata-rata perusahaan itu 24 jam, ada yang dua shift ada yang tiga shift. Itu [dampak satu shift] luar biasa buat kami. Maka banyak anggota kami yang tutup, sebagian buka 50 persen sehingga sebagian ada yang Zoom dari rumah," kata dia, Selasa (30/11/2021). 

"Hampir semua anggota kami berat untuk melakukan ini dan jujur saja kita merugi sebenarnya. Tapi karena ini kaitannya untuk kesehatan, kaitannya dengan pandemi yang kita ketahui semuanya, maka kami siap melaksanakan itu [kebijakan UMK]," kata dia. 

Baca Juga: Naik 5,12 Persen, Kini UMK Sleman Rp2 Juta

Di kesempatan sama ia bersyukur, dengan diturunkannya level PPKM maka perusahaan bisa berangsur operasi lagi, sehingga sebagian dari anggota APINDO sudah bergerak bangkit.

Menyoroti adanya peraturan pengupahan yang berlaku saat ini, APINDO memilih untuk mengikuti ketentuan yang berlaku walaupun ada risiko yang harus dihadapi. Walaupun tetap ada kekhawatiran yang muncul, bila di kemudian hari ada anggota APINDO yang belum mampu membayar upah sesuai UMK. 

"Itu kami anggap sebagai utang. Bedanya dengan yang dulu, [mengajukan] penangguhan juga harus ada audit dari akuntan publik, bahwa perusahaan itu betul-betul merugi. Tapi sekarang apapun alasannya, itu [penangguhan] tidak boleh," tutur dia. 

Sigit mengakui, ada sisi positif dari peraturan pemerintah tersebut, dalam hal ini perlindungan bagi tenaga kerja.

"Mudah-mudahan ke depan kami masih diberikan kemampuan untuk membayar UMK terbaru ini. Tetapi apabila di kemudian hari kami keberatan, karena ada beberapa anggota kami keberatan, kami tetap komitmen itu menjadi utang. Utang yang harus dibayarkan, tentu ada mekanisme ya," terangnya, sembari tak menampik bahwa tindakan itu tetap sebuah pelanggaran. 

Baca Juga: BRI Liga 1: PSIS Semarang Bersiap Hadapi PSS Sleman

Sejauh ini, terkait pelaksanaan pengupahan selalu ada solusi di tingkat bipartit, antara perusahaan dan serikat pekerja, imbuh Sigit.

"Perusahaan salah iya, wanprestasi iya, tapi kami komitmen itu utang. Semoga tahun depan tidak sampai ke arah itu," harapnya.

Perusahaan Sudah Patuh Prokes

Menyinggung penerapan protokol kesehatan (prokes) pencegahan Covid-19 di perusahaan, Ia menyatakan banyak perusahaan yang sudah menerapkan prokes bahkan sejak sebelum pandemi terjadi. 

Di industri padat karya seperti tekstil, tenun, kerajinan misalnya, para pekerja wajib menggunakan masker. Apabila tidak dipatuhi, maka karyawan bisa mendapat teguran lisan, yang bisa berlanjut SP 1, SP 2, SP 3 hingga PHK, bila teguran diabaikan. 

"Sehingga dengan adanya pandemi ini, kami sudah biasa untuk menggunakan masker. Bahkan di perusahaan tekstil dan perusahaan tertentu ada sumbat telinga dan jarak. Jarak itu sudah kita atur," ucapnya. 

Selain itu, mayoritas perusahaan juga telah mengubah kebiasaan karyawan mereka saat makan di tempat kerja, bertujuan untuk mengurangi kerumunan. Bila sebelumnya karyawan makan di kantin dan bergerombol, sejak pandemi makanan bagi karyawan dibungkus dan diantar ke tempat mereka masing-masing. 

Ia mengklaim kondisi itu berlangsung sampai sekarang, walaupun secara bertahap sudah bisa makan di kantin, tapi sebagian karyawan mengharapkan tetap dibungkus dan diantarkan saja.

Kontributor : Uli Febriarni

Load More