Scroll untuk membaca artikel
Eleonora PEW
Selasa, 21 Juni 2022 | 12:26 WIB
Pendiri OHANA sekaligus anggota Komite CRPD PBB Risnawati Utami - (Suara.com/Galih Fajar)

"Jadi kalau ada perkemahan, bumi perkemahan itu sudah disediakan WC aksesibel, tempat mandi aksesibel, sampai ada rumah kabin kayu kalau memang tidak bisa berkemah pakai tenda. Itu connected, saya herannya kementerian kehutanan di sana connect, kementerian pertanian connect, apalagi ketenagakerjaan dan transportasi. Mungkin karena penegakan hukumnya tinggi menurut saya, sehingga kalau saya mengalami diskriminasi di tempat umum saya boleh melakukan gugatan pengadilan," kata Risnawati.

"Misalnya, menggugat, perkemahan ini enggak aksesibel, nanti perkemahan itu akan dipanggil. Kita akan maju ke pengadilan, dan mereka membayar denda yang mahal. Menurut saya, law enforcement di Indonesia harus tinggi dalam rangka penegakan isu-isu HAM di Indonesia terutama HAM penyandang disabilitas," lanjut dia.

Sementara itu di Indonesia, Risnawati memandang, pemerintah belum 100 persen memenuhi hak penyandang disabilitas.

"Persoalannya, ada gap antara implementasi dan peraturan yang ada. Peraturannya sudah lengkap. Nah, pelaksanaannya yang di lapangan yang perlu kita monitor dan perlu kita advokasi, dan juga satu peraturan pemerintah yang mengatur tentang konsesi. Jadi misalnya perpajakan, alat bantu misalnya. Itu juga belum diatur," jelas Risnawati.

Baca Juga: Kisah Risnawati dalam Memperjuangkan Hak Disabilitas (Bagian 2-Selesai)

Kantor Perhimpunan OHANA milik Risnawati Utami - (Suara.com/Galih Fajar)

Ia menegaskan, Kementerian Sosial seharusnya memberikan surat rekomendasi, tetapi realita tak seperti yang ia harapkan, sehingga ia dan kawan-kawan penyandang disabilitas berharap, di dalam peraturan yang sifatnya konsesi, ada pengurangan biaya.

"Misalnya kalau di Amerika atau di Eropa, biasanya kalau tiket naik bus, misalnya saja, kalau orang yang non-difabel, dia bayarnya 100 persen, kita hanya 50 persen, sisanya ditanggung oleh negara. Demikian juga soal pajak, harus mengalami pengurangan pajak atau tax extension seperti itu kalau misalnya alat bantu dengar," sambungnya.

Sayang, menurut Risnawati, pemerintah belum paham akan ergonomi dan kualitas alat bantu, termasuk alat bantu dengar. Di AS, Risnawati menceritakan, alat bantu dengar dilengkapi fitur bluetooh, sehingga teman tuli yang menonton di bioskop bisa mengikuti pembicaraan dari film yang diputar.

"Di Indonesia enggak ada. Alat bantu dengar harus di-update ada bluetooth-nya, sehingga ketika ada conference, teman-teman sudah bisa menangkap pembicaraan dari diskusi di conference hall. Nah ini belum ada sampai pemikiran ke sana, apalagi pengurangan pajak alat bantu dengar. Karena alat bantu jalan maupun alat bantu dengar masih termasuk sebagai pajak barang mewah, jadi mahal sekali," jelas Risnawati.

"Persoalannya, Kementerian Keuangan masih belum mau menjadi penanggung jawab kementerian terhadap peraturan yang konsesi ini. Mereka pikirnya tidak ada hubungannya dengan perpajakan, padahal ada sekali karena saya mengurus ini sejak tahun akhir 2009," tambah dia, menyinggung soal surat rekomendasi Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, hingga Kementerian Sosial.

Baca Juga: Liputan Khusus: Kisah Risnawati dan Perjuangan Hak Disabilitas (Part 1)

Kekerasan seksual pada penyandang disabilitas

Load More