Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora
Kamis, 07 Juli 2022 | 14:20 WIB
JE terdakwa kasus kekerasan seksual SMA SPI Kota Batu [Foto: Suarajatimpost]

SuaraJogja.id - Kasus dugaan kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan kembali mencuat. Kali ini eks siswa SMA Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu, Jawa Timur yang menjadi korbannya saat masih menempuh pendidikan di sana.

Situasi itu dijelaskan di sebuah podcast milik seorang selebrita Indonesia, yang mengundang dua orang korbannya.

Dalam perbincangan tersebut, sebelum melakukan kekerasan seksual, pelaku memberi motivasi dan meminta korban menganggap pelaku adalah ayahnya.

Peneliti Pusat Studi Gender Universitas Islam Indonesia (UII), Trias Setiawati mengatakan ada dua hal yang perlu dilihat dari situasi tersebut. Baik dari sisi korban dan dari sisi pelaku.

Baca Juga: Dua Orang Masuk DPO di Kasus Jambusari, Polisi Minta Siapapun Tidak Bantu Tersangka

Menurut Trias, hingga saat ini pendidikan seksual bagi anak masih dianggap tabu dan belum diterapkan oleh banyak keluarga.

"Anak perempuan, harus diajari ada bagian tubuh yang tidak boleh dipegang oleh orang lain, bahkan oleh ayah mereka sendiri. Seperti vagina, payudara, bibir," kata dia, Rabu (6/7/2022).

Terlebih lagi, Indonesia belum punya sumber materi acuan maupun standar arahan, dalam mengajarkan pendidikan dini seksual kepada anak.

Akibatnya, bukan hanya terlambat mengetahui, anak-anak perempuan jadi tidak tahu cara melindungi diri.

"Kalau terjadi, mereka tidak tahu harus apa ketika mengalami kekerasan seksual," sebutnya.

Baca Juga: 3 Orang Terluka Dalam Kasus Kekerasan di Jambusari yang Berujung Rusuh di Babarsari, Terkena Sajam hingga Busur Panah

Padahal, anak-anak harus tahu, bila sedang dalam kondisi bahaya mereka harus pergi ke mana.

"Saluran-salurannya, lembaga di jenjang SD, SMP, SMA untuk melapor saat menjadi korban, tidak ada. Kalau perguruan tinggi kan harus ada Satgas. Artinya, memang sisi preventifnya kurang," kata dia.

Hal yang paling parah, tak sedikit lembaga pendidikan yang memandang kekerasan seksual sebagai aib dan cenderung melindungi pelaku.

Sementara itu, Trias melihat pelaku kejahatan seksual biasanya mereka adalah orang-orang yang punya pengalaman tidak memuaskan, saat dua tahun pertama dan mendapat rangsangan seksual di usia lebih dini ketimbang orang lain di lingkungannya.

"Pelaku itu kan orang sakit yang masa kecil kurang bahagia. Apakah di dua tahun pertama, lima tahun berikutnya. Ia juga mungkin tak mendapatkan bahasa cinta sesuai yang dibutuhkan si anak," kata dia.

Lalu kemudian mereka melampiaskan itu dengan menjadi pelaku kekerasan fisik, kekerasan seksual di masa dewasa.

Load More