Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Kamis, 08 September 2022 | 16:18 WIB
ilustrasi produksi kopi merapi yang turun drastis. [Iqbal Asaputra / SuaraJogja.id]

SuaraJogja.id - Sejurus dengan menjamurnya kedai-kedai kopi, intensitas menyesap minuman yang bermuasal dari Ethiopia itu kian marak.

Di wilayah DIY dan sekitarnya, lidah para pecinta kopi sudah tak asing dengan kopi Temanggung, Kawisari, Andungsari, Jampit hingga kopi merapi.

Tapi di balik kenikmatan menyeruput secangkir kopi, nasib tanaman yang dalam catatan sejarah didatangkan oleh penggede Kolonial Belanda itu tengah dihadapkan pada tantangan besar nan nyata.

Hal itu seperti yang diungkapkan para petani yang membudidayakan tanaman kopi merapi di kawasan lereng Gunung Merapi di wilayah Sleman. 

Baca Juga: Gawat! BI Prediksi Perubahan Iklim akan Berdampak Kerugian pada Produk Domestik Bruto Sebesar 40 Persen

Erupsi atau yang akrab di masyarakat DIY disebut sebagai wedhus gembel pada 2010 silam menjadi titik balik produksi kopi merapi. Amukan wedhus gembel pada tahun itu, membakar habis ratusan Hektare (Ha) perkebunan kopi.

Kepala Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan (DP3) Sleman Suparmono mengungkap, circa 2010 luas tanaman kopi populasinya sangat berkurang karena erupsi.

Data DP3 pada 2009, luas panen kopi robusta Kabupaten Sleman mencapai sekitar 101,90 Ha dengan produksi 336,65 Kw. Sedangkan luas panen kopi arabika seluas 55 Ha memiliki angka produksi sekitar 185,50 Kw.

"Setelah erupsi, penanaman kembali mulai dilakukan pada 2012," kata Suparmono.

Eks Panewu Cangkringan ini menyebut, dari sisa tanaman yang ada, masih terdapat poduksi kopi tapi belum besar. Seperti misalnya pada 2013, luas panen kopi robusta seluas 59,55 Ha dengan produksi sekitar 255,37 kw dan kopi arabika luas panen 27,90 Ha menghasilkan produksi sekitar 93,70 Kw.

Baca Juga: Terus Turun Drastis, Produksi Garam Rakyat Terganggu Perubahan Iklim

"Proses selanjutnya, secara bertahap, dimulai sejak 2012 dilakukan penambahan populasi. Sampai saat ini data populasi baik arabica maupun robusta seperti dalam data 2021, luas lahan kopi arabika 36,6 Ha dengan produksi 17.802,8 Kg dan luas lahan kopi robusta sebesar 217,95 Ha, angka produksi 67.236 Kg," sebutnya, mengutip catatan data yang dimiliki DP3.

Erupsi, menurut DP3, tak hanya meluluhlantakkan perkebunan tetapi dampaknya juga turut memengaruhi kualitas kopi karena biji kopi terkena debu dan uap panas. Penampakan kopi banyak yang hitam dan tanaman banyak yang rusak.

Sumarno: Lereng Merapi Kini Terasa Lebih Panas

Sementara itu, kala dikonfirmasi secara terpisah terkait kondisi pertanian kopi yang digeluti masyarakat lereng Merapi, salah satu petani kopi setempat, Sumarno memaparkan sejumlah fakta.

Sumarno merupakan petani kopi lereng Merapi yang berada di Padukuhan Gading, Kalurahan Glagaharjo, Kapanewon Cangkringan. Bagi beberapa orang, Gading yang berada di kisaran 700-800 mdpl merupakan kawasan yang sejuk.

Data produksi dan penyebab turunnya kopi merapi. [Iqbal Asaputra / SuaraJogja.id]

Pemilik rambut ikal pendek ini mengungkap, Gading merupakan salah satu area yang terdampak erupsi Gunung Merapi pada 2010. Sejumlah lahan kopi di tempat tersebut habis diterjang awan panas atau wedhus gembel. Ia mengingat, sebelum ada erupsi, panen kopi dapat dikatakan optimal. Namun semua berubah pascabencana, suhu udara setempat naik drastis sekitar 25%, Gading yang awalnya sejuk menjadi terasa lebih panas.

Load More