Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Kamis, 08 Desember 2022 | 09:15 WIB
Suasana rapat kerja antara DPR dan Pemerintah terkait pembahasan RUU KUHP. (Suara.com/Novian).

Sehingga, perlu mekanisme yang jelas dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun tersebut agar optimal.

Ia menambahkan, batasan rujukan dan/atau pendelegasian pengaturan tindak pidana pada Pasal 12 KUHP, disebutkan seperti berikut: 'Tindak Pidana merupakan perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan'.

Ketentuan rujukan dan/atau pendelegasian kepada peraturan perundang-undangan tersebut sangatlah luas.

Yang berarti bahwa, pengaturan mengenai tindak pidana tidak hanya pada tingkat UU dan Peraturan Daerah. Akan tetapi juga dapat dengan peraturan perundang-undangan lainnya, seperti Peraturan Pemerintah, Menteri, Gubernur dan lain sebagainya.

Baca Juga: PSHK UII Minta Presiden Menganulir Pelantikan Guntur Hamzah Sebagai Hakim MK, Begini Alasannya

"Hal tersebut bertentangan dengan Asas kepastian hukum dan kedaulatan rakyat," tegasnya.

Pasal Penghinaan Kepada Presiden Harus Disoroti

Selain itu, dalam KUHP yang telah disahkan mengatur mengenai tindak pidana penghinaan terhadap Pemerintah/Lembaga negara, pada Pasal 240 dan tindak pidana terhadap martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden Pasal 217-220.

"Perumusan pasal ini sangat dikhawatirkan menjadi suatu ancaman, bahkan pembatasan masyakarat dalam menyampaikan pendapat dan kritik kepada pemerintah dan/atau lembaga negara," kritisi Taufiq.

Tentu hal ini erat kaitannya dengan hak konstitusional masyarakat, yang tercantum pada Pasal 28E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Sehingga penegak hukum harus dapat membedakan, antara tindak pidana dan kritik kepada pemerintah.

Baca Juga: PSHK UII Minta Presiden Ingatkan Menterinya agar Patuh Perundang-undangan dan Putusan MK

Beberapa Rekomendasi PSHK UII

Load More