Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Kamis, 12 Januari 2023 | 17:57 WIB
Pakar Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Mada Sukmajati. [Suarajogja.id/Hiskia Andika Weadcaksana]

SuaraJogja.id - Dalam beberapa waktu terakhir sejumlah partai politik (parpol) baru terus bermunculan. Apalagi semakin mendekati pesta politik pada 2024 mendatang.

Pakar Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Mada Sukmajati menilai kehadiran parpol-parpol baru itu tidak memberikan perbedaan yang signifikan dari sisi ideologi. Dalam artian masih hampir sama dengan parpol-parpol lain yang sudah lebih dulu muncul.


"Di Indonesia ini kan partai-partai baru sebenarnya tidak menawarkan alternatif ideologi yang baru," kata Mada dalam acara Pojok Bulaksumur di UGM, Kamis (12/1/2023).


Bahkan, menurut Mada, tidak sedikit parpol baru itu lahir dari rasa sakit hati. Baik tidak mendapatkan jabatan dan yang lainnya hingga menimbulkan perpecahan internal.

Baca Juga: Unggul di Jawa Bagian Barat, Pakar Politik Sebut Anies Sudah Kuat Tanpa AHY: AHY Tak Begitu Kontributif


"Jadi partai baru di Indonesia itu kebanyakan lahir karena baperan gitu, sakit hati tidak dapat jabatan, lempar-lemparan kursi di partai dan seterusnya. Jadi simpel sekali, partai-partai baru di Indonesia ini lahir," ungkapnya.


Lebih jauh dari sisi ideologi tadi, disebutkan Mada, parpol-parpol itu tidak terlalu memiliki banyak perbedaan dengan induk atau pecahan parpol sebelumnya. Ia mencontohkan ada Partai Ummat dengan PAN serta Partai Gelora dengan PKS.


"Contoh itu yang notabene konstituennya dari pemilu ke pemilu trennya segitu-segitu aja. Jadi kalau ada partai baru yang ideologinya sama tapi konstituennya tidak nambah, nah itu kan berarti pertarungannya sebenarnya internal di antara mereka sendiri," paparnya.


"Jadi basis massanya yang dulu PKS sekarang diperebutkan oleh PKS dan Gelora. Basis massa yang dulu PAN sekarang diperebutkan oleh PAN dan Partai Ummat," imbuhnya.


Mada mengungkapkan dari beberapa studi yang ada ditemukan fakta lain bahwa pergantian perilaku memilih itu jarang sekali terjadi. Dalam hal ini terkait dengan pilihan ideologi parpol masyarakat itu sendiri.

Baca Juga: Ramai Bandingkan Era Jokowi dan SBY, Pakar Politik UGM: Jangan Sekadar Klaim tapi Tawarkan Alternatif


"Jarang sekali pendukung partai nasionalis beralih ke partai islam atau sebaliknya. Biasanya muternya ya kalau pada partai nasionalis ya nasionalis. Jadi kalau enggak milih Gerindra ya PDIP atau sebaliknya. Kalau enggak milih PKB ya PPP," terangnya.


Pola-pola itu yang, kata Mada masih akan terjadi pada tahun 2024 mendatang. Pemilih kemungkinan besar masih akan tetap dengan pilihan mereka beberapa waktu lalu.


"Nah polanya sejauh ini seperti itu, tapi kita kan enggak tahu untuk 2024 tapi berdasarkan pola ya kira-kira akan seperti itu," pungkasnya. 

Load More