Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Minggu, 22 Januari 2023 | 16:10 WIB
Kelenteng Kwan Tee Kiong atau lebih dikenal dengan Kelenteng Poncowinatan di Kota Jogja. [Suarajogja.id/Hiskia Andika Weadcaksana]

SuaraJogja.id - Tahun Baru Imlek 2574 Kongzili atau Tahun Baru Imlek 2023 telah tiba. Momen pergantian baru ini dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat Tionghoa di Indonesia untuk beribadah di kelenteng.

Di Kota Jogja terdapat sebuah kelenteng yang hingga kini masih dimanfaatkan untuk tempat ibadah oleh warganya. 


Adalah Kelenteng Kwan Tee Kiong atau lebih dikenal dengan Kelenteng Poncowinatan yang merupakan kelenteng tertua di Kota Jogja. Melihat sejarahnya kelenteng ini dibangun sejak tahun 1881 silam.


Kelenteng yang berada di belakang Pasar Kranggan, Kota Jogja itu dibangun saat Hamengku Buwono VII masih bertakhta sebagai Raja Keraton Yogyakarta. 

Baca Juga: 3 Rekomendasi Film Seru untuk Menemani Hari Libur Imlek 2023


"Benar. Jadi klenteng ini dibangun sudah sejak tahun 1881 dan sudah termasuk menjadi cagar budaya di Kota Yogyakarta," kata salah satu pengurus Klenteng Poncowinatan, Eka Putra, Sabtu (21/1/2023).


Lokasinya yang berada di area salah satu pasar tradisional di Kota Jogja, halaman Kelenteng Poncowinatan tak pernah sepi. Sebab juga dimanfaatkan untuk tempat parkir dan lalu lalang pedagang pasar setiap harinya. 


Sama seperti kelenteng-kelenteng lain, dari luar tampak jelas dominasi warna merah yang membalut Kelenteng Poncowinatan. Dari arsitektur pun, kata Eka, semua yang ada di kelenteng tersebut masih asli.


Di bagian atap kelenteng tampak sejumlah ornamen naga yang kental dengan arsitektur China. Di pintu masuk kanan kiri kelenteng pun juga tampak meriah dengan hiasan lukisan-lukisan yang sudah ada sejak dulu.


Eka menuturkan Kelenteng Poncowinatan memiliki dua lantai dengan 18 total altar di dalamnya. Dengan satu altar utama yang ditempatkan patung Kwan Tie Koen yang dipercaya sebagai dewa keadilan. 

Baca Juga: Ini Daftar Acara TV dan Drama Korea Tak Tayang saat Seollal


"Ada dua lantai dan total ada 18 altar. Semua masih asli ini dari dulu," ucapnya.


Masuk lebih jauh ke dalam ruangan, sudah langsung tercium wangi dupa atau hio di setiap sudutnya. Hio-hio itu sudah digantung rapi di beberapa bagian kelenteng dengan wadah khusus berbentuk bundar.


Meskipun sudah dibangun sejak ratusan tahun silam, kata Eka, kekokohan bangunan kelenteng tidak perlu diragukan. Pasalnya saat dihantam gempa besar pada 2006 silam, Kelenteng Poncowinatan tetap berdiri tegak.


"Saat gempa besar itu, kelenteng masih utuh. Itu hanya ada satu pilar saka yang geser, ya satu inci geser karena gempa. Lainnya masih aman," ungkapnya.


Arsitektur yang masih asli dan kokoh itu, disampaikan Eka dibangun tak menggunakan paku sama sekali. Kayu-kayu jati itu disusun dan disambungkan sedimikian rupa hingga membuatnya kokoh sampai sekarang.


Selain arsitektur, patung hingga ukiran-ukiran di seluruh altar dan pintu juga masih terawat. Eka mengatakan Kelenteng Poncowinatan juga memiliki sumur yang tak pernah kering sejak dibangun hingga sekarang.


Lebih spesialnya lagi kelenteng tertua di Kota Gudeg ini tak hanya digunakan oleh warga Tionghoa berkepercayaan Konghuchu saja. Melainkan juga Buddha dan Taoisme.


"Di sini juga ada altar Buddha dan Taoisme. Jadi ada bisa digunakan sembahyang tiga kepercayaan. Saat Waisak ada umat Buddha yang mau sembahyang ya monggo," terangnya.

Load More