Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Selasa, 21 Maret 2023 | 16:11 WIB
Kondisi rumah mayat perempuan termutilasi yang ada di Kalurahan Panembahan, Kecamatan Keraton, Kota Yogyakarta, Senin (20/3/2023). [Hiskia Andika Weadcaksana / Suarajogja.id]

SuaraJogja.id - Psikolog forensik dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Koentjoro menjelaskan, ketika memandang adanya kasus mutilasi sampai terjadi di Jogja, menandakan ada unsur 'belajar' yang dilakukan oleh tersangka. 


Koentjoro menjelaskan, 'pembelajaran' tersebut konteksnya, pelaku mempelajari bahwa ketika mereka kalap dan membuat seseorang sampai meninggal dunia, maka dimutilasi. 


"Itu ada unsur pembelajarannya, belajar dari luar Jogja kemudian dipelajari. Yang terjadi di Jogja itu (mutilasi di Pakem) bisa menjadi model 'kenapa yang terjadi sekarang terjadi di hotel? Itu menimbulkan kesan negatif pada korban," terangnya, kala dihubungi pada Selasa (21/3/2023).


Ia menjelaskan lebih jauh, tujuan mutilasi ada dua: menghilangkan jejak atau memang kesadisan. 

Baca Juga: Polisi Sebut Terduga Pelaku dan Korban Mutilasi di Wisma Kaliurang Masuk ke Kamar Tanpa Cekcok


Dua tujuan itu selanjutnya dapat menggambarkan kondisi masyarakat. 


"Kalau mutilasi tujuannya menghilangkan jejak, berarti masyarakat sudah 'pintar'. Meskipun mutilasi di lokasi, namun tergantung bagaimana [cara] memutilasinya," ucapnya. 


"Kalau untuk menghilangkan jejak, itu tidak dirancang mutilasi; mutilasi biasanya dilakukan setelah korban mati kemudian untuk menghilangkan jejak. Tetapi kalau mutilasi terjadi pada waktu dia masih hidup, itu kan menunjukkan kesadisan karena korban masih merasakan [sakit]," ungkapnya. 


Untuk mengetahui perbedaan mutilasi dilakukan oleh pelaku saat korban masih hidup atau sudah mati, yakni melihat dari kondisi darah korban di ruangan. 


Mutilasi dilakukan ketika korban masih hidup, bila terlihat darah yang terpercik di mana-mana. Karena saat itu jantung masih memompa darah. 

Baca Juga: Ada Luka Sayatan di Leher, Diduga Jadi Penyebab Kematian Korban Mutilasi Ayu Indraswari


Tetapi ketika mutilasi dilakukan saat korban sudah meninggal dunia, maka jantung sudah tidak berfungsi memompa darah, dengan demikian darah kondisinya menyebar. 


Koentjoro menduga korban di Pakem disiksa sampai meninggal dunia baru kemudian dimutilasi. 


Pelaku mutilasi melakukan mutilasi kepada korbannya bisa disebabkan karena kalap. Kalap merupakan eskalasi kemarahan. 


"Jujur, perlu diketahui juga si perempuan kenapa berada di hotel, apa profesinya, kemudian kenapa ia mau dibawa ke hotel di Kaliurang, apakah ada suatu masalah. Baru bisa disimpulkan [kenapa korban bisa sampai memutilasi korbannya]. Tetapi ada kemungkinan besar adanya eskalasi kemarahan, sehingga pelaku kalap," jelasnya. 


Menurut Koentjoro rasa kalap sukar dikelola, banyak orang yang awalnya baik-baik kemudian terjadi eskalasi kemarahan, lalu menghantam orang lain.

Kontributor : Uli Febriarni

Load More