Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Senin, 05 Februari 2024 | 18:31 WIB
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar saat memberi keterangan pada wartawan, di UII Yogyakarta, Senin (5/2/2024). [Hiskia Andika Weadcaksana/Suarajogja.id]

SuaraJogja.id - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar menilai putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait pelanggaran etik yang dilakukan oleh Ketua KPU RI, Hasyim Asyari dan komisioner lainnya dalam pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres di Pilpres 2024 sudah terlambat. Meski DKPP telah memberi sanksi peringatan terakhir, hal itu terasa sia-sia.

Pasalnya putusan itu tak akan mengubah apapun terkait pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres nomor urut 2. Putra sulung Jokowi itu tetap akan menjadi cawapres mendampingi capres Prabowo Subianto.

"Nah itu memang problemnya karena putusan DKPP menurut saya terlambat. Terlambatnya cukup jauh karena sekarang posisinya sudah mengunci, sudah enggak mungkin lagi ada efek diskualifikasi kan. Padahal menurut saya, efek diskualifikasi itu penting dalam menjaga demokrasi, tapi sekarang udah jadi serba sulit," kata pira yang akrab disapa Uceng tersebut saat ditemui di UII Kampus Cik Di Tiro, Kota Yogyakarta, Senin (5/2/2024).

Disampaikan Uceng, Pemilu 2024 yang tinggal sembilan hari lagi membuat proses tindaklanjut dari putusan etik itu mustahil untuk dilakukan. Pasalnya jika mengacu pada Undang-Undang dan PKPU perubahan itu paling tidak 60 hari sebelum pencoblosan.

Baca Juga: Ketua KPU RI Langgar Etik, Busyro Muqoddas Minta Jokowi Perintahkan Gibran Mundur dari Cawapres

"Sekurang-kurangnya 60 hari kan sebenarnya kalau kita pakai undang-undang dan PKPU, bahkan kalau kandidat meninggal kan udah gak bisa diganti tuh, kalau H-60," ucapnya.

"Jadi satu menurut saya ini terkesan telat ya. Saya enggak tahu kenapa kemudian DKPP terlalu lama untuk memutuskan," imbuhnya.

Selain itu, tidak adanya aturan terkait implikasi hukum yang jelas dari pelanggaran etik yang diputus, sehingga putusan etik itu seolah tak memberikan efek berarti.

Padahal putusan pelanggaran etik itu bukan pertama kali dijatuhkan. Sejak proses di Mahkamah Konstitusi (MK) pun prosesnya sudah diputus melakukan pelanggaran etik.

"Memang pelanggarannya administratif tetapi saya kira kalau kita runtut ke belakang, kita paham bahwa itu bukan lahir dari ruang hampa kan?. Ada proses yang memang dipaksakan dan bermasalah sedari awal," tegasnya.

Baca Juga: Sudah Digunakan Mahasiswa Pascasarjana, UGM Pastikan Skema Pinjol untuk Bayar UKT Tak Tambah Beban

Menurutnya sudah tidak ada langkah lagi untuk membatalkan majunya Gibran sebagai cawapres untuk Pemilu 2024. Ada pertaruhan besar jika memang prosesnya dibatalkan sekarang.

"Kecuali kalau kemudian kita mau bertaruh dengan menggagalkan tanggal 14 [Februari], kecuali kalau kita mau bertaruh dengan itu. Nah itu kan bertaruh dengan menggagalkan itu [14 Februari] sama dengan keluar dari mulut singa masuk ke mulut buaya," tuturnya.

Uceng sendiri memilih untuk tidak bertaruh dengan penundaan pemilu kali ini. Menurutnya justru penundaan pemilu bakal berimplikasi lebih besar dan rumit jika memang terjadi.

"Atau ada yang mau bertaruh dengan tidak ada pemilu ya silakan, kalau mau bertaruh, saya sendiri tidak ya. Karena itu sama dengan mengundang keluar perpu, keluar perubahan undang-undang dasar, Jokowi diperpanjang. Wah itu lebih ribet saya kira, banyak sekali isu-isu ribet yang bisa terjadi kalau kita membiarkan tanggal 14 [Februari]," tandasnya.

Langgar Etik

Sebelumnya, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) resmi menjatuhkan vonis terkait perkara pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres di Pilpres 2024. Dalam putusannya, DKPP menyatakan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari bersama jajarannya melakukan pelanggaran etik.

Putusan tersebut dibacakan Ketua DKPP Heddy Lugito dalam sidang putusan perkara dugaan pelanggaran pada pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden, Senin (5/2/2024).

"Teradu satu [Hasyim Asy'ari] dalam perkara nomor 135-PKE/DPP/XII/2023 perkara nomor 136-PKE-DKPP/XII/2023, perkara nomor 137-PKE-DKPP/XII/2023, dan perkara nomor 141-PKE-DKPP/XII/2023 terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman penyelenggara Pemilu," kata Heddy di ruang siang DKPP, Jakarta Pusat, Senin (5/2/2024).

Untuk itu, Hasyim dijatuhkan sanksi berupa peringatan keras terakhir. Sementara enam komisioner lainnya mendapatkan sanksi peringatan keras.

"Menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Hasyim Asy'ari selaku teradu satu," kata Heddy.

Untuk diketahui, keempat perkara tersebut diadukan oleh Demas Brian Wicaksono dalam perkara nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023, Iman Munandar B. dalam perkara nomor 136-PKE-DKPP/XII/2023, P.H. Hariyanto pada perkara nomor 137-PKE-DKPP/XII/2023, dan Rumondang Damanik pada perkara nomor 141-PKE-DKPP/XII/2023.

Mereka menggugat pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wakil presiden pada 25 Oktober 2023 karena dianggap tidak sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Sebab, saat itu KPU diketahui belum merevisi atau mengubah peraturan terkait pascaputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Load More