SuaraJogja.id - Belum lama ini Litbang Kompas merilis survei mengenai keterkaitan pemilihan calon di Pilkada 2024 dengan pengaruh Presiden Joko Widodo. Hasilnya sebesar 54,3 persen masyarakat mempertimbangkan calon yang notabene mempunyai hubungan dengan dengan Jokowi.
Survei tersebut dilakukan pada periode 27 Mei hingga 2 Juni 2024 lalu. Menggunakan metode wawancara tatap muka atau survei terhadap 1.200 responden yang dipilih secara acak.
Survei ini turut menggunakan metode pencuplikan sistematis bertingkat di 38 provinsi di Indonesia. Dengan tingkat kepercayaan 95 persen serta margin of error kurang lebih 2,83 persen.
Lantas bagaimana survei itu jika ditarik ke Pilkada 2024 mendatang? Apakah kedekatan dengan Jokowi itu akan berefek hingga sampai ke daerah?
Baca Juga: Jelang Pilkada 2024, Bawaslu Kota Jogja Imbau ASN Tetap Jaga Netralitas
Pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Arya Budi menilai ada tiga variabel yang harus dilihat dalam Pilkada nanti terkait pengaruh Jokowi tersebut. Pertama mulai dari basis elektoral atau massa Jokowi sendiri di suatu daerah.
Kedua adalah asosiasi kandidat yang maju Pilkada dengan Jokowi. Serta yang ketiga adalah mesin atau model kampanye penetrasi seterusnya oleh kandidat dan tim sukses atau parpolnya.
"Ketiga syarat ini harus dipenuhi, jika Pilkada maupun kandidat yang menggandeng Jokowi ingin memperoleh efek dari Jokowi. Karena 50 persen itu tentu tidak akan berlaku di seluruh daerah," kata Arya dihubungi, Selasa (25/6/2024).
Disampaikan Arya, untuk Jateng dan DIY sendiri sebenarnya menjadi salah satu basis Jokowi. Mengingat dua daerah tersebut dulu sebagian terkapitalisasi oleh Jokowi.
"Itu sebenarnya syarat satu terpenuhi. Syarat kedua adalah apakah kandidat nanti akan merefleksikan atau mengusung bahwa dia adalah penerus atau orangnya Jokowi, kita tidak tahu akan sejauh apa dia akan mengeksplorasi mengeksploitasi Jokowi di dalam kampanye. Kita tunggu setelah calon definitif," ungkapnya.
Baca Juga: Hanya 8 Kampus Swasta di Jogja Ini yang Dinilai Unggul, Universitasmu Termasuk?
Selain itu, Arya bilang performa atau tingkat kepuasan terhadap Jokowi di masa-masa akhir pemerintahannya juga perlu dilihat. Jika kemudian kepuasan publik terhadap Jokowi lantas turun jelang hari pemungutan maka kandidat yang menghubungkan diri dengan Jokowi justru akan menjadi disinsentif atau kerugian elektoral.
"Jadi harus hati-hati karena kepuasan publik itu bisa dinamis tergantung dengan pemerintah. Tiba-tiba harga bahan pokok September-Oktober melambung tentu kepuasan akan jatuh. Jadi itu sangat rasional, basis pertimbangan pilihan politik ya," terangnya.
Di luar efek Jokowi, Arya menyebut dalam Pilkada juga sangat ditentukan oleh kapitalisasi figur dari masing-masing calon kepala daerah (cakada). Baik untuk di level provinsi maupun di kabupaten kota.
Jika publik menanggap bahwa seorang cakada nanti misalnya korup atau bahkan mesin partai tidak bergerak maksimal jelang hari pemungutan, maka efek Jokowi yang diidam-idamkan itu tidak akan bekerja.
"Jadi menang atau tidaknya kandidat dipengaruhi variabelnya bukan variabel Jokowi saja tetapi kandidat itu sendiri sebagai sebuah figur, ya track record, pengalaman dan macam-macam dan juga mesin politik yang akan bekerja di darat maupun di udara nanti," tuturnya.
"Tentu variabel itu harus dihitung juga karena kalau tidak ada mesin yang bekerja, sekuat apa dia akan mengasosiasikan sebagai orangnya Jokowi itu tidak akan maksimal karena meskipun basis kalau orang-orang pada enggak tahu kan sama aja. Tahu tidaknya publik pemilih itu ditentukan oleh mesin kampanye," imbuhnya.
Logika ini pun akan berlaku kepada calon-calon atau kandidat yang bersebrangan dengan Jokowi. Jika daerah tersebut basis Jokowi tidak terlalu kuat maka tentu calon bersebrangan itu akan mendapatkan benefit.
"Jadi basisnya Jokowi lemah cenderung malah anti Jokowi misalnya, Banten, sebagian kecil DKI, sebagian Sumatera, nah itu tentu justru menjadi insentif elektoral yang terasosiasi negatif atau berlawanan dengan Jokowi," pungkasnya.
Berita Terkait
-
Debat Terakhir Pilkada Jakarta Sempat Ricuh, Pendukung Pramono-Rano Ngamuk-ngamuk ke Kubu RK-Suswono: Ngapain Itu Woi?
-
Langit Jakarta Kelabu Bukan Gegara Perubahan Iklim, Dharma Pongrekun: Itu Iklim yang Diubah
-
LIVE STREAMING: Debat Ketiga Calon Gubernur & Wakil Gubernur DKI 2024
-
Live Report! Debat Pamungkas Pilkada Jakarta 2024
-
Acuhkan Lembaga Survei karena Berbayar, Dharma-Kun Lebih Percaya Pooling Netizen: Elektabilitas Kami 68 Persen
Terpopuler
- Tersandung Skandal Wanita Simpanan Vanessa Nabila, Ahmad Luthfi Kenang Wasiat Mendiang Istri
- Gibran Tinjau Makan Gratis di SMAN 70, Dokter Tifa Sebut Salah Sasaran : Itu Anak Orang Elit
- Kini Rekening Ivan Sugianto Diblokir PPATK, Sahroni: Selain Kelakuan Buruk, Dia juga Cari Uang Diduga Ilegal
- Dibongkar Ahmad Sahroni, Ini Deretan 'Dosa' Ivan Sugianto sampai Rekening Diblokir PPATK
- Pernampakan Mobil Mewah Milik Ahmad Luthfi yang Dikendarai Vanessa Nabila, Pajaknya Tak Dibayar?
Pilihan
-
Ada Korban Jiwa dari Konflik Tambang di Paser, JATAM Kaltim: Merusak Kehidupan!
-
Pemerintah Nekat Naikkan Pajak saat Gelombang PHK Masih Menggila
-
Dugaan Pelanggaran Pemilu, Bawaslu Pantau Interaksi Basri Rase dengan ASN
-
Kuasa Hukum Tuding Kejanggalan, Kasus Cek Kosong Hasanuddin Mas'ud Dibawa ke Tingkat Nasional
-
Iuran Rp 20 Ribu untuk Listrik di SMA Negeri 1 Bontang, Disdik Kaltim Angkat Bicara
Terkini
-
Solusi Kerja dan Kreativitas: Janji Harda-Danang Gaet Suara Pemuda Sleman
-
Keluhan Bertahun-tahun Tak Digubris, Pedagang Pantai Kukup Gunungkidul Sengsara Akibat Parkir
-
Dukung Partisipasi Masyarakat, Layanan Rekam KTP Kota Jogja Tetap Buka saat Pilkada 2024
-
Waspada, Kasus DBD di Yogyakarta Naik Tajam, Anak-Anak Rentan Terinfeksi
-
Sholawatan Pilkada Sleman Berujung Polemik, Bawaslu Usut Dugaan Eksploitasi Anak