Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Selasa, 03 September 2024 | 21:34 WIB
kirab lemper raksasa peringati tradisi Rabu Pungkasan. [Kontributor/Julianto]

SuaraJogja.id - Rabu pungkasan (terakhir) di bulan Safar bakal jatuh pada Rabu (4/9/2024) besok. Esok hari merupakan hari Rabu terakhir di tahun 1446 hijriah sebelum akhirnya berganti ke 1447 hijriah. Bagi masyarakat Jawa, diyakini ada makna tertentu dari Rebo pungkasan atau wekasan ini. 

Bagi masyarakat Jawa, diyakini pada hari itu disebutkan, Allah akan menurunkan 40.000 bencana atau musibah kepada umat manusia. Oleh karenanya bulan Safar sering diidentikkan sebagai bulan pembawa kesialan, terlebih pada hari Rabu terakhir di bulan itu. 

Ada tradisi ini dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Jawa yang dipercaya mampu mengusir kesialan tersebut. Akar tradisi Rabu Wekasan berasal dari kepercayaan masyarakat Nusantara yang menganggap bahwa bulan Safar adalah bulan yang penuh dengan kesialan. 

Di Kalurahan Wonokromo Kapanewon Pleret Bantul, masyarakat bakal mengarak lemper (nasi dibungkus daun) raksasa dari Balai Kalurahan menuju ke Masjid Wonokromo. Di masjid nantinya lemper tersebut bakal dibagikan ke masyarakat untuk disantap bersama setelah doa bersama. 

Baca Juga: Pemkab Bantul Gelar Pemilos Serentak, Jadi Satu-satunya di Indonesia

Lurah Wonokromo, Machrus Hanafi menuturkan tradisi ini sudah berlangsung turun temurun sejak jaman Sri Sultan Hamengku Buwono I. Rebo Wekasan sudah ada sejak tahun 1784 dan sampai sekarang upacara ini masih tetap dilestarikan. Pada jaman itu hidup seorang kyai yang bemama mBah Fagih Usman.

" Tokoh kyai yang kemudian lebih dikenal dengan nama Kyai Wonokromo Pertama atau Kyai Welit,"ujarnya. 

Pada masa itu hidupnya mempunyai kelebihan ilmu yang sangat baik di bidang agama maupun bidang ketabiban atau penyembuhan penyakit.  Pada waktu itu masyarakat Wonokromo meyakini babwa mBah Kyai mampu mengobati penyakit dan metode yang digunakan atau dipraktekkan mBah Kyai dalam pengobatan adalah dengan cara disuwuk, yakni dibacakan ayat-ayat Al-Our'an pada segelas air yang kemudian diminumkan kepada pasiennya dapat sembuh. 

Pada saat itu di daerah Wonokromo dan sekitamya sedang terjadi pagebluk yang mengancam keselamatan jiwa banyak orang. Tak heran jika kemudian masyarakat berbondong-bondong kepada mBah Kyai untuk meminta obat dan meminta berkah keselamatan. 

Ketenaran mBah Kyai semakin tersebar sampai ke pelosok daerah, sehingga yang datang berobatpun semakin bertambah banyak, maka di sekitar masjid lalu dipadati para pedagang yang ingin mengais reJeki dan para tamu. Suasana seperti itu dapat mengganggu akan keagungan masjid dan sangat merepotkan jamaah yang akan memasuki masjid untuk sholat. 

Baca Juga: Nikah Siri Dua Kali, ASN di Gunungkidul Dipecat

"Pada suatu saat mBah Kyai menemukan cara paling efektif untuk memberikan pengobatan dan berkah keselamatan kepada umatnya, yakni menyuwuk telaga di pertempuran Kali Opak dan Gajah Uwong di timur kampung Wonokromo," ungkapnya. 

Berkat ketenaran mBah Kyai Fagih, maka lama kelamaan sampai terdengar oleh : Sri Sultan HB 1. Untuk membuktikan berita tersebut kemudian mengutus empat orang prajuritnya supaya membawa mBah Kyai Fagih menghadap ke kraton dan memperagakan ilmunya itu. Ternyata ilmu mBah Kyai itu mendapat sanjungan dari Sri Sultan HB I karena memang setelah masyarakat yang sakit itu diobati dan sembuh. 

Sepeninggal mBah Kyai, lalu masyarakat meyakini bahwa mandi di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan mendatangkan berkah ketenteraman, sehingga setiap hari Rabu Wekasan masyarakat berbondongbondong untuk mencari berkah. 

"Dengan mandi di pertempuran itu dimaksudkan manusia bersuci atau selalu "wisuh"' untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang melekat di dalam tubuh," bebernya.

Namun masyarakat mengartikan lain, bahwa "wisuh" atau mandi tadi diartikan lain, yakni mandi " dengan "misuh" - berkata kotor. Menurut narasumber bahwa hal tersebut merupakan kepercayaan orang orang yang datang dari luar daerah , sebab masyarakat Wonokromo sendiri tidak menggangap seperti itu, karena orang — orangnya beragama Islam yang kuat beragama dan menghindari syirik. 

Di Gunungkidul, tradisi rebo Pungkasan dilaksanakan dengan cara berbeda. Seperti yang dilakukan oleh segenap pengurus dan jamaah Pondok Pesantren Al Qodiry Dusun Munggur Semin. Mereka bakal memanjatkan doa bersama setelah sebelumnya dilakukan sholat sunat 4 rakaat dua kali salam. 

"Ada beberapa barang yang bisa dibawa jamaah diantaranya air dalam botol kemudian nasi giling, sayur lodeh 7 sayuran, jenang merah putih, rempeyek kedelai hitam dan ikan sungai," tutur pimpinan Ponpes Al Qodiry Kyai Achid Sutoyo.

Load More