Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Rabu, 13 November 2024 | 17:47 WIB
Penyelenggaraan WJNC di Tugu Yogyakarta, Senin (7/10/2024) malam yang menyisakan sampah. [Kontributor Suarajogja.id/Putu]

Syafiatudina menambahkan, saat ini diakui belum ada pengakuan dan perlindungan untuk masalah dalam relasi antara pekerja dan pemberi kerja di sektor ekonomi kreatif. Padahal dalam UU Keistimewaan DIY 2012 yang diturunankan melalui Perdais DIY 2017 tentang Pemeliharaan dan Pengembangan Kebudayaan Pasal 3 (e) tentang tujuan Pemeliharaan dan Pengembangan Kebudayaan menyebutkan adanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

"Jadi upah yang didapat belum sesuai dengan standar kelayakan hidup di Yogyakarta. Sehingga rekan ini harus bekerja di tempat lain, bahkan mencoba ikut kepanitiaan dan datang ke tempat-tempat yang membagikan makanan murah atau gratis untuk menekan biaya hidupnya," jelasnya.

Persoalan ini, lanjut Syafiatudina makin diperparah dengan tingginya harga tanah atau rumah di Yogyakarta. Pekerja ekonomi kreatif hampir mustahil bisa membeli rumah dengan upah yang mereka terima saat ini.

Apalagi gaji pekerja yang bisa mengakses harga tanah di Yogyakarta harus diatas Rp16 juta per bulan. Padahal gaji pekerja ekonomi kreatif tak lebih dari UMK.

Baca Juga: JAFF19 Kembali, 180 Film Asia Pasifik Siap Tayang di Yogyakarta

Tak hanya harga rumah yang mahal, harga kontrakan pun juga semakin melambung di Yogyakarta setiap tahunnya. Akibatnya gaji sebesar UMR pun sebagian besar habis untuk membayar biaya hunian.

"Jadi tidak ada seperdelapan gaji minimun untuk bisa mencicil rumah di Jogja," tandasnya.

UMK Sesuai Putusan MK

Koordinator MPBI DIY, Irsad Ade Irawan, mengungkapkan, mengacu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian uji materi UU Cipta Kerja, Gubernur DIY seharusnya menetapkan UMP dan UMK yang mampu memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL). Sebab putusan MK sangat jelas yang memutuskan setiap pekerja berhak atas penghidupan yang layak. 

"Untuk memenuhi kebutuhan itu semua, maka Gubernur DIY haruslah menetapkan UMK DIY pada kisaran Rp3,7 juta hingga Rp4 Juta," tegasnya.

Baca Juga: Makam Mbah Celeng Terdampak Tol Jogja-Solo Segera Dipindah, Tunggu Restu Kraton

Karenanya MPBI mendesak Gubernur DIY melibatkan Dewan Pengupahan Daerah beserta Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam merumuskan kebijakan pengupahan pada 2025 mendatang. Dengan demikian ada partisipasi semua pihak dalam proses penetapan upah.

"Gubernur diharapkan membuat pergub yang mewajibkan semua perusahaan di DIY menerapkan struktur dan skala upah yang proporsional," ungkapnya.

Sementara, Wakil Ketua DPRD DIY, Imam Taufik mengungkapkan, masukan dari pekerja dan buruh sangat penting sebelum UMK di DIY ditetapkan. Perlu ada formula baru yang lebih adil sehingga pekerja sejahtera dan pengusaha juga tidak keberatan.

"Kami berharap ada solusi yang baik antara swasta, pemerintah, dan pekerja," paparnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More