Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Jum'at, 13 Desember 2024 | 11:19 WIB
Proses pengolahan sampah dan budidaya maggot di Maggot Ndalem Sawo, Cokrodiningratan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta. [Suarajogja.id/Hiskia Andika Weadcaksana]

Satrio mengatakan bahwa maggot adalah pelengkap dari pengolahan sampah organik. Apalagi diketahui Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta sudah memberikan berbagai program terkait pengelolaan sampah di level rumah tangga. Mulai dari biopori, ember tumpuk hingga pengolahan lain yang bisa dilakukan di rumah atau wilayah. Maggot sendiri, kata dia, adalah pelengkap dari semua program-program tersebut

"Ada biopori, tapi kendalanya prosesnya lama dan kalau enggak betul masukinnya itu juga bisa bau, juga kalau penuh susah. Ada ember tumpuk, kalau udah penuh bingung juga," ucapnya.

"Istilahnya pengolahan sampah organik itu sistem. Kalau cuma biopori aja lama, kalau cuma punya ember tumpuk juga enggak efektif, kalau maggot saja bisa cepat tapi ada sisanya. Nah kalau punya semuanya bisa semakin optimal," imbuhnya. 

Berdasarkan data realisasi yang telah dilakukan pada April-Juli 2024 kemarin, total ada 4 ton sampah organik yang sudah masuk dan diolah di rumah maggot itu. Sampah organik itu masih ada di rumah tersebut namun sudah berganti bentuk dan lebih bermanfaat.

Baca Juga: Tak Belajar dari TPU Mandala Krida, Sampah Liar di Jetis jadi Sorotan, Forpi Jogja Minta DLH Tegas

Pada puncaknya, Satrio bilang pihaknya bisa mengolah 500 kg sampah organik per hari. Jumlah itu tidak hanya mengandalkan maggot semata tapi juga dengan program lain tadi.

"Dari data terbukti 500 kg terserap semua satu hari, tidak hanya dari maggot saja itu. Pada puncaknya bisa 500 kg per hari, sisa makanan. Itu tertinggi waktu itu, tidak hanya maggot, ada biopori, ember tumpuk, ada compostor juga, itu bisa langsung terserap 500 kg, itu puncaknya. Kalau rata-rata ya 200-300 kg per hari," ujarnya.

Proses pengolahan sampah dan budidaya maggot di Maggot Ndalem Sawo, Cokrodiningratan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta. [Suarajogja.id/Hiskia Andika Weadcaksana]

Tidak hanya maggot yang punya andil besar dalam mengurai sampah organik. Kasgot atau bekas belatung maggot pun dapat dimanfaatkan untuk pupuk organik.

"Selain magot, ada kasgot juga kotorannya, itu bagus untuk tanaman. Tanaman yang di sini juga bisa untuk ketahanan pangan," tuturnya. 

"Kasgot bisa dimasukkan ke biopori itu akan lebih cepat terproses. Jadi istilahnya dari magot itu sudah 80-90 persen kompos. Tinggal dimasukkan ke biopori 3-4 hari sudah jadi. Kalau mentah ke biopori itu lama," sambungnya. 

Baca Juga: Polemik ITF Bawuran: DPRD vs Bupati, Nasib Sampah Bantul Terkatung-katung

Magotnya sendiri pun juga mempunyai nilai ekonomis. Bisa diolah maupun digunakan sebagai pakan ternak baik ikan maupun ayam dan burung.

Satrio meyakini bahwa sebenarnya persoalan sampah organik sangat memungkinkan diselesaikan di wilayah atau level rumah tangga masing-masing. Program maggot ini sebagai salah satu upaya untuk mengoptimalkan hal tersebut.

Namun sayangnya belum banyak masyarakat yang sadar tentang pentingnya pemilahan hingga pengelolaan sampah secara mandiri. Dia berharap kehadiran budidaya maggot di Kota Yogyakarta dapat semakin meningkatkan kesadaran masyarakat terkait pengolahan sampah organik.

Ndalem Maggot Sawo pun sempat mendapat apresiasi langsung dari Pemkot Yogyakarta. Bahkan Penjabat Wali Kota Yogya, Sugeng Purwanto pernah meninjau langsung ke lokasi beberapa waktu lalu.

Penjabat Wali Kota Yogyakarta, Sugeng Purwanto mengaku sangat mengapresiasi langkah tersebut. Menurutnya keberadaan Ndalem Maggot Sawo merupakan salah satu alternatif untuk pengolahan sampah organik.

Selain itu, lanjutnya, keberadaan Ndalem Maggot Sawo dapat menjadi motivasi agar masyarakat Kota Yogya untuk mengolah sampahnya secara mandiri. Sehingga dapat dijadikan sesuatu yang bermanfaat.

Load More