Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Selasa, 18 Februari 2025 | 15:12 WIB
Ilustrasi bunuh diri. (Shutterstock)

Salah satu tantangan utama adalah kurangnya tenaga kesehatan jiwa. Saat ini, hanya ada 11 tenaga kesehatan jiwa, termasuk tiga psikolog klinis yang tersebar di tiga puskesmas. Dan saat ini sedang mencari strategi yang tepat untuk menangani kesehatan mental di Gunungkidul

"Kami telah melakukan survei ke berbagai daerah dan Gunungkidul menjadi salah satu wilayah yang dipilih untuk program percontohan," ungkap seorang perwakilan dari IPI, Muhammad Firmansyah. 

IPI bekerja sama dengan konsultan dari Australia, Rahel Kremniezer dan Ayelet Samuel, dalam upaya menanggulangi permasalahan kesehatan mental di Gunungkidul.

Rahel menyatakan bahwa sementara ini tugas timnya adalah mendengarkan masukan dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk tenaga kesehatan, kader, siswa, dan pihak terkait lainnya.

Baca Juga: Diduga Keletihan, Kakek Asal Playen Ditemukan Tewas Tertelungkup di Ladang

"Kami ingin memahami apa yang sudah ada dan apa yang masih kurang. Misalnya, apakah layanan kesehatan mental sudah tersedia tetapi sulit diakses, atau memang belum ada sama sekali. Apakah ada program kesehatan mental di sekolah yang bisa ditingkatkan? Semua ini akan bergantung pada hasil diskusi hari ini," ujar Rahel.

Program ini nantinya akan diadopsi dengan mempertimbangkan nilai-nilai budaya lokal. Rahel menekankan bahwa mereka tidak akan sekadar menerapkan program dari luar negeri, melainkan menciptakan solusi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Gunungkidul. 

"Yang paling penting adalah keberlanjutan program ini agar generasi berikutnya tetap bisa mendapatkan manfaatnya. Kami ingin melihat peningkatan dalam status kesehatan mental masyarakat Gunungkidul sehingga mereka dapat menjalani hidup dengan lebih percaya diri dan berdaya,"ujarnya.

Kontributor : Julianto

Baca Juga: Buntut Efisiensi APBD, Tugu Adipura dan Revitalisasi Alun-alun Gunungkidul Batal, Anggaran Dipangkas

Load More