Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Selasa, 04 Maret 2025 | 13:20 WIB
Tangis haru pecah dari ribuan karyawan PT Sritex setelah kepastikan tidak adanya PHK. [Instagram @undercover.id]

SuaraJogja.id - Pakar Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjuddin Noer Effendi menyoroti respons pemerintah atas gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang melanda Indonesia baru-baru ini. Menurutnya upaya pemerintah dalam menghadapi krisis PHK ini masih kurang memadai dan tidak konsisten.

Tadjuddin menyebut bahwa pemerintah masih lambat dalam merespons gelombang PHK, terutama di sektor tekstil. Kondisi ini menyebabkan munculnya kondisi ketidakpastian dan kecemasan.

Efek dominonya pun akan negatif ketika dibiarkan begitu saja. Jika tidak ditangani dengan cepat, maka pengangguran, kemiskinan, dan bahkan kriminalitas dapat meningkat.

"Meskipun ada pernyataan dari wakil menteri bahwa akan ada upaya untuk mencegah PHK, kenyataannya justru banyak pekerja yang sudah di-PHK tanpa tindakan nyata dari pemerintah," ujar Tadjuddin, Selasa (4/3/2025).

Baca Juga: Viral Keluhan PKL di Trotoar UGM, Satpol PP Sleman: Tunggu Keputusan UGM

Dia menilai jika pemerintah tidak segera memberikan bantuan sosial, kesejahteraan para pekerja yang terdampak PHK akan menurun drastis. Bantuan sosial ini bisa berupa program jaminan kehilangan pekerjaan, jaminan hari tua, serta bantuan sosial perlu segera direalisasikan untuk mencegah kemerosotan kesejahteraan.

"Pemerintah harus menciptakan peluang kerja dengan melakukan investasi besar-besaran di sektor padat karya, seperti industri tekstil dan garmen. Dengan begitu, akan ada lebih banyak lapangan pekerjaan yang tersedia," ungkap dia.

Dalam kesempatan ini, Tadjuddin turut menyinggung penyebab terjadinya PHK di PT Sritex. Salah satunya terkait terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024, yang menghapus persyaratan persetujuan teknis untuk produk impor barang jadi, termasuk tekstil.

"Akibat peraturan tersebut, impor tekstil ke Indonesia meningkat drastis, dari 136.360 ton pada April 2024 menjadi 194.870 ton pada Mei 2024. Hal ini menyebabkan produk tekstil lokal tidak mampu bersaing dengan produk impor yang lebih murah," ungkapnya.

Banjirnya produk tekstil impor dengan harga rendah ini bukan hanya merugikan sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), tetapi juga berdampak pada pabrik-pabrik besar.

Baca Juga: Apresiasi Pemberian Diskon Sejumlah Moda Transportasi saat Lebaran, Pustral UGM Minta Pemerintah Perhatikan Hal Ini

Beberapa pabrik tekstil terkemuka, seperti PT Sritex, terpaksa menutup operasional mereka dan melakukan PHK massal terhadap ribuan karyawan karena penurunan permintaan pasar yang signifikan. Kondisi ini juga diperburuk oleh menurunnya daya beli masyarakat, terutama di kalangan kelas menengah ke bawah, yang masih belum pulih sepenuhnya sejak pandemi.

Melihat situasi yang ada sekarang, Tadjuddin memproyeksikan bahwa pekerja yang di-PHK ini sangat berpotensi bakal beralih ke sektor informal. Misalnya saja dengan berdagang dan berjualan makanan.

Hal ini sudah terlihat di berbagai kota, seperti Yogyakarta, di mana banyak orang beralih ke sektor informal untuk bertahan hidup. Padahal di sisi lain pekerjaan di sektor informal ini hanya mampu memenuhi kebutuhan jangka pendek saja.

"Tanpa intervensi pemerintah, angka pengangguran bisa meningkat di masa mendatang," kata dia.

Load More