SuaraJogja.id - Di era digital, arus informasi yang deras membawa tantangan baru bagi kesehatan mental masyarakat Indonesia. Rentetan kabar buruk mulai dari isu pemerintahan, pembubaran demonstrasi, teror terhadap jurnalis, hingga kasus korupsi dan fluktuasi ekonomi memicu keresahan dan rasa kehilangan kepercayaan publik terhadap sistem.
Psikolog klinis Pamela Andari Priyudha menjelaskan bahwa terpaan informasi negatif yang berkelanjutan bisa menyebabkan ketegangan psikologis yang bersifat kolektif.
"Ketika seseorang merasa tidak berdaya, mereka bisa mengalami learned helplessness yaitu kondisi di mana merasa tidak mampu mengubah situasi meskipun sebenarnya ada peluang. Ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan apatisme, frustasi, dan depresi secara kolektif," kata Pamela, Sabtu (12/4/2025).
Literasi digital, Pamela bilang merupakan bekal penting masyarakat untuk menyaring informasi secara kritis. Tindakan yang hanya membaca judul atau sepotong-sepotong berita juga bisa menimbulkan gangguan kesehatan mental seperti contohnya kecemasan berlebihan.
Baca Juga: IHSG Masih Jeblok Jadi Momentum Berinvestasi? Simak Tips dari Dosen Ekonomi UGM
Kelompok renta mulai dari orang tua, remaja serta individu dengan literasi digital rendah akan lebih mudah terpapar dampak psikologis dari berita negatif tersebut. Di sinilah kemampuan regulasi emosi menjadi kunci untuk menjaga stabilitas mental di tengah situasi tersebut.
"Saya kira penting bagi individu, institusi pendidikan, serta komunitas sosial untuk secara aktif memberikan edukasi yang berkelanjutan mengenai literasi digital dan keterampilan pengelolaan emosi, guna membentuk masyarakat yang lebih resilien dan siap secara psikologis dalam menghadapi tekanan informasi di era digital yang serba cepat ini," tuturnya.
Salah satu cara menjaga kesehatan mental, lanjut Pamela, adalah dengan secara sadar mengatur konsumsi informasi. Terutama menghindari informasi yang belum diverifikasi dan bisa memicu stres.
"Penting untuk mengedepankan logika dan bersikap objektif. Selalu cari tahu dari berbagai sumber, jangan hanya mengandalkan satu sudut pandang," tegasnya.
Selain itu, menghindari topik yang memicu emosi berlebihan dan aktif mencari konten yang membangun bisa membantu menjaga suasana hati. Pamela turut menyarankan agar masyarakat dapat menerapkan kontrol diri untuk tetap fokus pada hal-hal yang bisa dikendalikan.
Baca Juga: Sejumlah Korban Kekerasan Seksual Guru Besar Farmasi Trauma, Ini yang Dilakukan UGM
"Kita harus menyadari batasan antara hal-hal yang dapat kita kendalikan dan yang berada di luar kendali kita. Fokus pada peran dan tanggung jawab yang bisa dijalankan akan membantu menjaga semangat dan rasa optimisme," ucapnya.
Ia juga menyoroti pentingnya dukungan emosional antarsesama. Menjadi pendengar yang baik tanpa menghakimi adalah bentuk dukungan sederhana namun bermakna, terutama bagi mereka yang sedang tertekan.
"Sadari, mungkin mereka butuh didengarkan dan dipahami tanpa diberikan penilaian atau non-judgemental atas keresahan-keresahan yang muncul akibat banjirnya berita negatif yang diterima," ujarnya.
Namun, ia mengingatkan pentingnya mengenali kondisi diri sebelum menolong orang lain. Jika belum siap secara emosional, lebih baik menghubungkan orang tersebut ke tenaga profesional.
"Sebelum membantu, kita harus aware terhadap kondisi mental kita terlebih dahulu. Jika dirasa tidak siap maka hubungkan dengan profesional seperti psikolog, psikiater atau konselor," tambahnya.
Terakhir, Pamela menekankan bahwa peran institusi pendidikan dan komunitas di era sekarang sangat vital. Selain membekali generasi muda dengan literasi digital dan mental, komunitas juga bertanggung jawab membentuk ruang publik yang bebas hoaks dan ujaran kebencian.
"Melalui kerja kolektif, komunitas dapat berkontribusi dalam memverifikasi keakuratan informasi yang beredar, menyebarkan konten yang berimbang antara berita positif dan negatif, serta menumbuhkan empati dan solidaritas antaranggota masyarakat," pungkasnya.
Berita Terkait
-
Komnas HAM Tegaskan Guru Besar UGM dan Dokter Residen Pelaku Pelecehan Harus Dihukum Lebih Berat!
-
Predator Seksual Berkedok Profesor, Guru Besar UGM Ramai Disebut Walid Versi Nyata
-
Cabuli Mahasiswi, Legislator PKB Geram Aksi Predator Seks Guru Besar UGM: Jangan Dikasih Ampun!
-
Membongkar Kekerasan Seksual di Kampus oleh Oknum Guru Besar Farmasi UGM
-
Lucky Hakim Dicurigai Lupa Sudah Jadi Pejabat, Lita Gading: Jangan-Jangan Akting Saat Kampanye
Terpopuler
- Sekantong Uang dari Indonesia, Pemain Keturunan: Hati Saya Bilang Iya, tapi...
- Agama Titiek Puspa: Dulu, Sekarang, dan Perjalanan Spiritualnya
- Lisa Mariana Ngemis Tes DNA, Denise Chariesta Sebut Tak Ada Otak dan Harga Diri
- 6 Perangkat Xiaomi Siap Cicipi HyperOS 2.2, Bawa Fitur Kamera Baru dan AI Cerdas
- Kang Dedi Mulyadi Liburkan PKL di Bandung Sebulan dengan Bayaran Berlipat
Pilihan
-
Timnas Indonesia U-17 Siaga! Media Asing: Ada yang Janggal dari Pemain Korut
-
Profil CV Sentosa Seal Surabaya, Pabrik Diduga Tahan Ijazah Karyawan Hingga Resign
-
BMKG Bantah Ada Anomali Seismik di Bogor Menyusul Gempa Merusak 10 April Kemarin
-
6 Rekomendasi HP Rp 4 Jutaan Terbaik April 2025, Kamera dan Performa Handal
-
5 Rekomendasi HP Rp 2 Jutaan Snapdragon, Performa Handal Terbaik April 2025
Terkini
-
Pemkot Yogyakarta Gelar Pemeriksaan Kesehatan Lansia Gratis Tiap Bulan, Catat Tanggal dan Lokasinya!
-
Psikolog UGM Soroti Peran Literasi Digital dan Kontrol Diri
-
Pascaefisiensi Anggaran, Puteri Keraton Yogyakarta Pertahankan Kegiatan Budaya yang Terancam Hilang
-
Komunikasi Pemerintah Disorot: Harusnya Rangkul Publik, Bukan Bikin Kontroversi
-
Sehari Dua Kecelakaan Terjadi di Sleman, Satu Pengendara Motor Meninggal Dunia