Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora
Senin, 14 April 2025 | 19:43 WIB
ilustrasi kekerasan seksual (freepik)

SuaraJogja.id - Pemda DIY melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY mendesak UGM segera melaporkan kasus dugaan kekerasan seksual guru besar Fakultas Farmasi ke pihak kepolisian dan DP3AP2 DIY.

Hal ini penting mengingat hingga saat ini pun Pemda belum menerima laporan resmi dari kampus tersebut.

"Sampai saat ini, kami belum mendapatkan laporan kronologis yang rinci dari pihak UGM. Belum ada aduan yang masuk ke UPT PPA terkait kasus ini. Kami sedang meminta laporan resmi dari Ibu Wakil Rektor dan Satgas PPKS UGM," papar Kepala DP3AP2 DIY, Erlina Hidayati Sumardi di Yogyakarta, Senin (14/4/2025).

Menurut Erlina, bila tidak segera dilaporkan, baik ke pihak kepolisian ataupun DP3AP2, maka kasus yang ramai diperbincangkan di media sosial tersebut dikhawatirkan semakin berdampak buruk pada korban. Sebab hak-hak perlindungan korban tidak dipenuhi.

Baca Juga: Komunikasi Pemerintah Disorot: Harusnya Rangkul Publik, Bukan Bikin Kontroversi

Erlina mengaku sudah menjalin komunikasi dengan UGM.

Namun koordinasi terkendala karena Ketua Satgas PPKS UGM, Yayi Suryo Prabandari belum juga kembali dari Norwegia.

Akibatnya rapat bersama yang sebelumnya diagendakan pun tertunda dan baru dijadwalkan setelah 15 April 2025 besok.

"Akibatnya sampai sekarang belum ada pendampingan dari kami terhadap para korban karena belum ada laporan yang masuk, baik ke UPT PPA maupun ke kepolisian," jelasnya.

Erlina mendapatkan informasi, baru Satgas PPKS UGM yang melakukan pendampingan internal terhadap korban.

Baca Juga: Guru Besar UGM Dipecat karena Kekerasan Seksual: Polisi Belum Terima Laporan

Namun, belum ada laporan resmi yang menjelaskan sejauh mana proses pendampingan tersebut berjalan.

Padahal sesuai dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), setiap kasus kekerasan seksual harus ditindaklanjuti melalui pelaporan dan pendampingan.

Karenanya DP3AP2 DIY meminta UGM lebih komunikasi dalam melakukan koordinasi yang lebih baik antara pihak kampus dengan lembaga pemerintah.

Apalagi selama ini banyak kampus dan sekolah yang hanya menindaklanjuti kasus kekerasan seksual di tingkat internal.

Kalau kasus tersebut masih bersifat ringan, maka bisa saja diselesaikan di tingkat kampus.

Namun bila melibatkan banyak korban dan membutuhkan perlindungan hukum, maka mestinya penanganan kasus bisa dilakukan secara bersama-sama. Sehingga hak-hak korban bisa dipenuhi, termasuk perlindungan hukum.

"Dalam rapat koordinasi dengan PPKS di perguruan tinggi, kami selalu menekankan bahwa penanganan kasus kekerasan seksual tidak bisa ditangani sendiri. Ada hak-hak korban yang harus dipenuhi, termasuk keadilan dan perlindungan. Sayangnya, sering kali kasus-kasus ini ditangani internal tanpa pelibatan kami," tandasnya.

Erlina menambahkan, pihaknya belum dapat memastikan apakah korban bersedia menempuh jalur hukum.

Namun, dia menegaskan pentingnya proses hukum demi memberikan efek jera kepada pelaku. Bila tidak dilakukan, maka sanksi yang diberlakukan kampus pun tidak akan membuat jera pelaku.

"Kalau tidak diproses hukum, bisa saja pelaku mengulangi perbuatannya terhadap korban lain. Walaupun UGM sudah memberikan sanksi berupa pemecatan, tetap harus ada kontrol sosial melalui jalur hukum," ungkapnya.

Sebelumnya Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, menyatakan memberikan pendampingan korban kekerasan seksual di UGM.

Pendampingan tidak hanya psikologis namun juga bantuan hukum dari UPTD PPA DIY serta Satgas PPKS UGM.

Sebab kasus tersebut mencerminkan adanya relasi kuasa yang menyimpang dan merupakan bentuk kekerasan seksual yang serius.

Sehingga kementerian tersebut memastikan proses pemeriksaan berjalan sesuai aturan dan hak korban terpenuhi

Terlebih dugaan kekerasan seksual oleh guru besar Fakultas Farmasi UGM, dilakukan sepanjang 2023 hingga 2024.

Berdasarkan laporan internal, pelaku memanfaatkan kegiatan akademik, seperti bimbingan dan diskusi lomba, sebagai modus mendekati korban. Sebagian besar pertemuan terjadi di luar lingkungan kampus.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More