Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Sabtu, 31 Mei 2025 | 16:09 WIB
Kuasa hukum Yayasan Ponpes Ora Aji, Adi Susanto menunjukkan Surat Tanda Penerimaan Laporan (STPL) terkait dugaan pencurian, Sabtu (31/5/2025). [Hiskia/Suarajogja]

SuaraJogja.id - Polemik dugaan penganiayaan antara santri di Pondok Pesantren Ora Aji memasuki babak baru.

Kuasa hukum Yayasan Ponpes Ora Aji, Adi Susanto, mengungkap bahwa pelaku dalam kasus dugaan penganiayaan itu kini sudah melaporkan balik korban ke polisi atas dugaan pencurian.

"Dan kami secara resmi telah melaporkan Saudara [KDR] di Polresta Sleman," kata Adi kepada wartawan, di Ponpes Ora Aji, Sabtu (31/5/2025)

Adi menjelaskan, laporan tersebut dibuat oleh salah satu santri pada 10 Maret 2025 lalu, dengan tuduhan kehilangan uang sebesar Rp700 ribu.

Baca Juga: Kasus Dugaan Penganiayaan Santri Mencuat di Ponpes Ora Aji, Gus Miftah Minta Maaf

Uang tersebut diduga dicuri oleh [KDR], santri yang sebelumnya diberitakan sebagai korban penganiayaan.

"Yang bersangkutan kehilangan duit Rp700 sudah dilaporkan pada tanggal 10 Maret 2025 ya, di Polresta Sleman yang sampai hari ini prosesnya sudah berjalan," ucapnya.

Dalam proses penyelidikan, menurut Adi, polisi sudah memanggil pihak yang dilaporkan secara resmi. Namun, sampai saat ini, KDR disebut belum memenuhi dua kali panggilan pemeriksaan dari Polresta Sleman.

"[KDR] yang bersangkutan sudah dipanggil secara resmi secara patut ya berdasarkan panggilan yang resmi itu sampai hari ini tidak menghadiri undangan pemeriksaan kurang lebih sudah dua kali," tandasnya.

Adi menambahkan, meski laporan pencurian dibuat oleh satu orang, sejumlah santri lainnya juga merasa kehilangan uang.

Baca Juga: Angkat Bicara, Yayasan Ponpes Ora Aji Bantah Ada Penganiayaan, Begini Kronologi Peristiwanya

Para santri tersebut dimintai keterangan sebagai saksi dalam laporan yang sama.

"Yang melaporkan satu orang tetapi semua korbannya itu menjadi saksi dalam peristiwa ini. Jadi keterangan-keterangan saksi-saksi itu adalah menerangkan soal berapa yang dia kehilangannya kira-kira begitu," ungkapnya.

Hingga saat ini, polisi telah memeriksa empat orang terkait laporan dugaan pencurian tersebut.

Namun, jumlah saksi yang masuk dalam daftar masih berkisar antara tujuh hingga delapan santri.

"Sementara yang diperiksa baru empat orang, yang diperiksa, tapi dari nama-nama yang ada kisaran antara tujuh sampai delapan," tuturnya.

Sebelumnya diberitakan seorang santri di Pondok Pesantren (Ponpes) Ora Aji berinisial KDR (23) diduga menjadi korban penganiayaan.

Pelakunya diduga merupakan 13 orang pengurus dan santri lain yang juga berada di ponpes asuhan Miftah Maulana Habiburrahman atau Gus Miftah itu.

Hal itu diungkap oleh Ketua tim kuasa hukum KDR, Heru Lestarianto mengungkapkan dugaan aksi penganiayaan terhadap kliennya itu terjadi pada 15 Februari 2025 lalu.

Disampaikan Heru, tak hanya luka fisik saja yang diderita kliennya. Informasi dari orang tua korban, kini KDR mengalami gangguan mental imbas dari penganiayaan itu.

Mengingat penganiayaan kepada kliennya yang tak hanya dipukuli secara beramai-ramai. Namun juga diduga korban disetrum dan dipukuli menggunakan selang.

Korban sempat melakukan visum usai kejadian itu. Namun saat ini korban sudah dibawa pulang oleh keluarganya ke rumahnya di Kalimantan.

Atas kasus ini, kliennya juga telah membuat laporan polisi di Polsek Kalasan dengan Nomor : STTLP/22/II/2025/SEK KLS/POLRESTA SLM/POLDA DIY tertanggal 16 Februari 2025. Namun kemudian penanganan kasus sudah dialihkan ke Polresta Sleman.

Mediasi Gagal

Adi bilang yayasan telah berusaha memfasilitasi perdamaian antara korban KDR dan para santri yang merasa dirugikan.

Namun, upaya tersebut gagal karena pihak keluarga korban menuntut kompensasi dalam jumlah besar.

"Nah, yang membuat mediasi itu menjadi gagal pada akhirnya itu dikarenakan permintaan kompensasi atau tuntutan kompensasi dari keluarga saudara [KDR] ini yang tidak mungkin bisa dipenuhi oleh santri," kata Adi.

Menurutnya, nominal yang diminta keluarga tak mungkin dipenuhi oleh para santri yang mayoritas berasal dari keluarga kurang mampu.

Sebagai alternatif, yayasan sempat menawarkan bantuan senilai Rp20 juta untuk pengobatan, namun tawaran itu ditolak.

"Tapi sekali lagi itu tidak pernah bisa diterima sampai akhirnya upaya mediasi berulang kali itu menjadi gagal, gagal dan gagal," ujarnya.

Load More