SuaraJogja.id - Kesejahteraan penulis masih menjadi isu yang penting untuk diperhatikan. Termasuk penulis karya-karya sastra di Indonesia yang nasibnya cukup menyedihkan.
Padahal karya sastra merupakan produk bangsa yang menjadi pilar untuk menyuburkan jiwa masyarakatnya. Namun ironis ketika tidak sedikit penulis tak bisa menggantungkan hidup dari menulis.
Guru Besar Bidang Ilmu Sosiologi Sastra dari Fakultas Ilmu Budaya UGM, Aprinus Salam, mengatakan sastrawan di era sekarang ini bahkan sebelumnya tidak bisa sekadar bergantung pada honor menulis untuk bertahan hidup.
Menurutnya, sangat jarang seorang seniman atau sastrawan bisa hidup dari karyanya yang bisa menghasilkan uang yang cukup untuk kehidupannya.
"Tapi, memang tidak semua. Ada juga beberapa sastrawan yang sukses dari berkarya, terutama ketika penulis sastra tersebut mampu menembus syarat-syarat komersial sehingga karya sastranya bisa menghasilkan uang cukup," kata Aprinus, dalam keterangannya, Selasa (3/6/2025).
Disampaikan Aprinus, syarat-syarat komersial itu berbeda-beda untuk setiap hasil karya sastra. Mengingat banyak karya sastra yang bisa dikomersilkan dengan baik.
Setidaknya bisa menyesuaikan kehendak dan selera pasar yang selalu berubah secara dinamis. Itu yang menjadi tantangan bagi para penulis.
"Kadang kita tidak tahu karya seperti apa nanti atau beberapa tahun ke depan yang laku di pasaran seperti apa," ucapnya.
Selain itu, Aprinus menyebut ada beberapa tantangan terbesar yang dihadapi sastrawan untuk menjadikan sastra sebagai mata pencaharian utama.
Baca Juga: Joko Pinurbo di Mata Sang Istri: Pribadi yang Sederhana
Pertama tentang rendahnya penghargaan baik dari pemerintah maupun masyarakat terhadap karya sastra. Kedua, asumsi dan pengetahuan umum tentang sastra yang seolah-olah karya fiksional dan imajinatif sebagai hal yang tidak cukup penting.
Terakhir, ketiga, sastrawan harus menulis karya yang bagus terlebih dulu. Sehingga bisa setidaknya "mengganggu" atau "mengintervensi" pengetahuan umum tentang sastra atau suatu peristiwa.
"Dulu, negara menganggap penting karya sastra itu, yakni dengan adanya beberapa karya sastra yang dilarang. Itu artinya, sastra penting. Gara-gara dilarang, justru bukunya jadi laku. Tapi itu juga tidak mengangkat ekonomi sastrawan jika royalti buat pengarang masih sangat kecil," ucapnya.
Dia menyarankan solusi konkret yang bisa dilakukan pemerintah atau lembaga budaya untuk mendukung keberlangsungan hidup para sastrawan.
Pemerintah diminta bisa memberikan perhatian dan penghargaan dalam mendorong kemajuan industri kreatif di bidang sastra. Serta meningkatkan kesejahteraan sastrawan melalui pemberian hibah, penambahan royalti hingga pembelian karya sastra.
Memalui pemberian hibah misalnya, pemerintah membeli karya sastra yang bagus dengan harga yang pantas, royalti dapat diperbesar.
Terakhir, terdapat donatur-donatur yang bersedia memberi hibah terhadap penulis sastra yang mumpuni agar orang tersebut bisa fokus dalam menulis karya sastra.
"Jadi, sastrawan tersebut tidak harus memikirkan ekonomi keluarganya. Tapi, kayaknya ini sulit. Kembali ke soal masih rendahnya penghargaan terhadap karya sastra," ucapnya.
Aprinus berharap pemerintah dalam 5-10 tahun ke depan bisa mendorong masa depan sastra Indonesia makin maju dan berkembang. Tanpa melupakan kesejahteraan para pelaku sastranya makin meningkat.
Sebab, karya sastra adalah produk bangsa, bukan sekedar produk per orang.
"Keunggulan suatu bangsa dapat dilihat apa sastranya juga unggul. Karya yang unggul tentu perlu dukungan semua pihak," pungkasnya.
Memang, kesejahteraan sastrawan di Indonesia masih menjadi isu yang kompleks dan sering kali luput dari perhatian publik.
Banyak sastrawan yang berkarya bukan karena motif ekonomi, tetapi lebih karena panggilan jiwa dan idealisme.
Sebagian besar dari mereka tidak mengandalkan karya sastra sebagai sumber penghasilan utama, melainkan memiliki pekerjaan lain untuk menopang kehidupan sehari-hari.
Hal ini disebabkan oleh rendahnya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra, baik dari segi pembacaan maupun dari aspek komersialnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Media Belanda Heran Mauro Zijlstra Masuk Skuad Utama Timnas Indonesia: Padahal Cadangan di Volendam
- KPU Tak Bisa Buka Ijazah Capres-Cawapres ke Publik, DPR Pertanyakan: Orang Lamar Kerja Saja Pakai CV
- Harta Kekayaan Wali Kota Prabumulih, Disorot usai Viral Pencopotan Kepala Sekolah
- Anak Wali Kota Prabumulih Bawa Mobil ke Sekolah, Padahal di LHKPN Hanya Ada Truk dan Buldoser
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
Pilihan
-
Kendal Tornado FC vs Persela Lamongan, Manajemen Jual 3.000 Tiket
-
6 Rekomendasi HP Murah Rp 3 Jutaan dengan Kamera Terbaik September 2025
-
Wakil Erick Thohir Disebut jadi Kandidat Kuat Menteri BUMN
-
Kursi Menteri BUMN Kosong, Siapa Pengganti Erick Thohir?
-
Otak Pembunuhan Kacab Bank, Siapa Ken si Wiraswasta Bertato?
Terkini
-
Bantul Optimis Swasembada Beras 2025: Panen Melimpah Ruah, Stok Aman Hingga Akhir Tahun
-
Sampah Menggunung: Jogja Kembali 'Numpang' Piyungan, Kapan Mandiri?
-
Terjebak dalam Pekerjaan? Ini Alasan Fenomena 'Job Hugging' Marak di Indonesia
-
Revolusi Pilah Sampah di Yogyakarta Dimulai: Ribuan Ember Disebar, Ini Kata Wali Kota
-
Dua Bulan Berlalu, Kasus Makam Diplomat Diacak-acak 'Ngambang', JPW Desak Polisi Tindaklanjuti