Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora
Minggu, 08 Juni 2025 | 18:26 WIB
Pasar Gebrag digelar Wyndham Garden Yogyakarta, Sabtu (7/6/2025) dalam upaya mensiasati rendahnya okupansi dan efisiensi anggaran di sektor perhotelan. [Kontributor/Putu]

SuaraJogja.id - Pemerintah pusat telah memberikan lampu hijau bagi pemerintah daerah (Pemda) untuk kembali menggelar rapat dan kegiatan dinas di hotel maupun restoran.

Pelonggaran ini menjadi kabar baik bagi sektor perhotelan dan restoran yang sempat terpuruk akibat kebijakan efisiensi anggaran.

Namun Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY mengingatkan agar kebijakan tersebut tidak sebatas wacana tanpa realisasi.

Sebab tanpa dibarengi pelonggaran kebijakan efisiensi, ijin rapat di hotel dan restoran sekedar jadi omong kosong.

Baca Juga: 6 Juni 2025 Idul Adha Serentak, MUI DIY Ingatkan Soal Takbir Tertib dan Solidaritas Sosial

"Ya kami menyambut baik ijin itu. Tapi kami harapkan ini bukan omon-omon [omong kosong]. Pemerintah daerah bisa melaksanakannya karena sudah tidak ada larangan lagi. Tapi kalau anggarannya dari pusat tidak dibuka, ya tetap tidak bisa," papar Ketua PHRI DIY, Deddy Pranowo di Yogyakarta, Minggu (8/6/2025).

Deddy menyebutkan, Pemda, termasuk DIY masih menghadapi kendala besar, terutama akibat pemangkasan anggaran yang diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 125 tentang Efisiensi Belanja Pemerintah.

Sampai saat ini belum ada pelonggaran terkait kebijakan tersebut.

Pelonggaran kebijakan pemerintah pusat soal kegiatan di hotel dan restoran mestinya disertai pelonggaran anggaran yang konkret.

Pemerintah harusnya tidak berhenti di level izin administratif, tapi juga memberikan dukungan fiskal agar sektor perhotelan bisa kembali pulih.

Baca Juga: Harga Ikan di Yogyakarta Stabil? Ini Strategi DKP DIY Jaga Pasokan dari Laut Selatan

"Kami tidak minta banyak. Cukup beri ruang untuk kami hidup kembali. Kalau Pemda dibolehkan tapi tak punya anggaran, ya sama saja bohong," ungkapnya.

Deddy menyatakan, meski ada beberapa reservasi dari dinas-dinas, jumlahnya masih sangat kecil.

Gelaran kegiatan di hotel dan restoran diduga menggunakan sisa anggaran dari tahun sebelumnya. Hal itu belum menunjukkan dampak signifikan di lapangan.

"Saya dengar dari teman-teman, seminggu lalu mulai ada reservasi dari dinas, tapi tidak banyak. Kemungkinan masih memakai anggaran lama yang belum terpotong," jelasnya.

Kebijakan yang nyata, lanjut Deddy dibutuhkan sektor pariwasata dan perhotelan di DIY. Sebab saat ini okupansi hotel saat libur panjang masih rendah.

PHRI DIY mencatat, tingkat okupansi hotel saat libur Idul Adha 2025 masih berada pada kisaran 20–40 persen.

Angka ini jauh di bawah okupansi saat libur Idul Fitri yang mencapai 75 persen.

"Menurut BMKG, masih gelap dan berawan. Okupansi hanya 20–40 persen, padahal ini libur panjang. Kita berharap naik tanggal 7–8 Juni ini, tapi sampai sekarang reservasinya belum kelihatan," ungkapnya.

Deddy menyebutkan, keberadaan homestay dan vila yang lebih murah dimungkinkan yang menjadi pilihan utama wisatawan saat ini ketimbang menginap di hotel. Apalagi homestay dan vila seringkali tidak dibebani pajak dan izin seperti hotel berbintang.

Karenanya PHRI DIY mendesak agar pemerintah pusat tidak hanya memberi izin secara administratif, tapi juga melonggarkan kebijakan efisiensi anggaran yang selama ini membelenggu belanja Pemda.

Terlebih dampak kebijakan efisiensi anggaran tidak hanya dirasakan oleh pelaku usaha.

Namun juga terhadap tenaga kerja, supplier, hingga pelaku UMKM yang menjadi bagian dari rantai ekonomi pariwisata.

"Kalau pemerintah pusat memang serius, jangan hanya membolehkan, tapi juga longgarkan anggaran Pemda. Tanpa itu, bagaimana bisa jalan? Anggarannya sudah digeser untuk program lain. Kami ini punya multiplier effect. Kalau hotel bisa jalan, tenaga kerja, pemasok makanan, hingga UMKM juga hidup. Ini bukan hanya soal kita, tapi soal ekonomi daerah secara keseluruhan," tandasnya.

Secara terpisah Cluster Marketing Communication Manager Wyndham Garden Yogyakarta, Anna Mariam Rahagi, menyatakan, hotel menyambut baik pelonggaran kebijakan rapat instansi pemerintah di hotel.

Namun belum adanya kepastian efisiensi anggaran dari pusat, hotel kini harus fleksibel dan menyesuaikan diri dengan kondisi ekonomi.

Alih-alih berharap terlalu banyak pada pasar pemerintahan, Wyndham Garden memilih untuk melakukan shifting market (mengubah strategi pasar). Yakni menyasar wisatawan umum dan menggandeng komunitas lokal.

Hotel itu membuat paket-paket desa wisata dan menggandeng UMKM seperti Pasar Gebrag selama Juni 2025 ini. Acara mingguan ini mengangkat produk lokal dari para pelaku UMKM sekaligus menjadi ruang interaksi yang santai, meriah, dan terbuka untuk semua kalangan.

"Kami sudah shifting market. Kami kerja sama dengan desa wisata dan tempat-tempat wisata lain untuk bikin paket yang memudahkan wisatawan. Jadi, enggak lagi terlalu bergantung pada dinas atau instansi," jelasnya.

Hotel itu juga menurunkan harga paket rapat agar tetap terjangkau oleh instansi yang anggarannya terbatas. Terlebih saat ini Kementerian Keuangan menganggarkan biaya makan dan snack untuk tingkat menteri, wakil menteri dan eselon 1 sebesar Rp171.000 per orang.

"Kalau biasanya half-day meeting [rapat setengah hari] dipatok harga Rp 300 ribu per orang, sekarang kita bikin paket bisa Rp 183 ribu [per orang]. Tapi ya konsekuensinya menyesuaikan juga, seperti mengurangi variasi makanan," ungkapnya.

Anna menambahkan, meskipun sudah mulai ada pergerakan di sektor perhotelan DIY, terutama dari instansi lokal, namun kontribusi dari pusat atau luar daerah masih minim.

Okupansi hotel di Yogyakarta, kata dia, masih berada di kisaran 20–35 persen, dan belum ada lonjakan signifikan.

"Sudah mulai ada masuk dari instansi di DIY, tapi kalau dari Jakarta atau pusat, masih sangat sedikit. Harapannya di semester kedua ini bisa mulai menggeliat lagi," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More