Ia menilai, kebijakan larangan plastik di kawasan museum atau situs budaya bukanlah hal yang sulit, asalkan ada kemauan politik dan dukungan masyarakat.
Komisi A akan mendorong perumusan regulasi atau instruksi kepala daerah yang melarang penggunaan plastik sekali pakai secara bertahap, terutama di tempat-tempat strategis.
"Belajar dari Bali, ini sangat mungkin dilakukan," tandasnya.
Eko menambahkan pentingnya riset dan dokumentasi sejarah perjuangan kemerdekaan yang lebih mendalam di Yogyakarta.
Salah satu contoh yang ia sampaikan adalah peristiwa penangkapan Bung Karno di Yogyakarta oleh Belanda pada 29 Desember 1929, yang hingga kini belum diabadikan secara maksimal dalam bentuk museum.
Karenanya diharapkan Yogyakarta bisa menata ulang relasi antara pelestarian budaya dan pelestarian lingkungan. Sebab keduanya tak bisa dipisahkan.
"Pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Jogja adalah peristiwa besar, tapi belum ada situs atau museum resmi yang membahasnya secara utuh. Ini bisa jadi proyek strategis ke depan. Kalau kita mencintai sejarah dan budaya, maka kita juga harus mencintai bumi tempat budaya itu tumbuh," ungkap dia.
Sementara Kepala UPTD Museum Bali, Ida Ayu Sutariani, menjelaskan sejak diberlakukannya kebijakan pengurangan plastik berdasarkan Surat Edaran Gubernur Bali pada Februari 2025 lalu, pihaknya secara konsisten menerapkan sistem bebas plastik di kawasan museum.
Salah satu langkah konkret adalah tidak menjual air dalam kemasan plastik berukuran kecil, serta menyediakan air minum isi ulang bagi pengunjung.
Baca Juga: Kota Jogja 'Kepung' Sampah Sungai dengan Trash Barrier, Strategi Jitu atau Sekadar Pencitraan?
"Kami juga mengimbau pengunjung agar membawa tumbler. Agen perjalanan biasanya sudah memberi informasi bahwa makanan dan minuman tidak diperbolehkan dibawa masuk, karena kami menjaga kawasan tetap bersih," jelasnya.
Museum juga memiliki sistem pengelolaan sampah organik sendiri. Potongan rumput dari halaman museum dikumpulkan ke dalam lubang kompos sedalam dua meter, menghasilkan pupuk alami yang digunakan kembali untuk pemeliharaan taman.
Langkah ini terbukti efektif mengurangi volume sampah dan menciptakan lanskap museum yang asri.
"Selain menjaga kebersihan, ini bagian dari edukasi kepada pengunjung bahwa merawat warisan budaya juga harus sejalan dengan menjaga bumi," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi
Berita Terkait
Terpopuler
- Perbandingan Konsumsi BBM Mitsubishi Destinator vs Innova Zenix, Irit Mana?
- FC Volendam Rilis Skuad Utama, Ada 3 Pemain Keturunan Indonesia
- Nggak Perlu Jutaan! Ini 6 Sepatu Jalan Kaki Brand Lokal Terbaik di Bawah 500 Ribu
- Tukang Jahit Rumahan di Pekalongan Syok "Ditagih" Pajak Rp2,8 Miliar
- 5 SUV 7 Penumpang Alternatif Destinator, Harga Lebih Murah, Pajak Ringan!
Pilihan
-
Rahasia Dean Henderson Tundukkan Algojo Liverpool: Botol Minum Jadi Kunci
-
Bos Danantara Sebut Pasar Modal Motor Ekonomi, Prabowo Anggap Mirip Judi
-
Jelang HUT RI! Emiten Tekstil RI Deklarasi Angkat Bendera Putih dengan Tutup Pabrik
-
Update Pemain Abroad: Nathan Tjoe-A-On Debut Pahit, Eliano Menang, Mees Hilgers Hilang
-
Pilih Nomor 21, Jay Idzes Ikuti Jejak Pemain Gagal Liverpool di Sassuolo
Terkini
-
Bendera One Piece Bikin Heboh, Deddy Corbuzier Beri Lampu Hijau dengan Syarat Ini
-
TPR Parangtritis Dipindah! Kabar Baik untuk Wisatawan & Warga Gunungkidul
-
Drama di Lift Hotel Jogja, Atlet Bulu Tangkis Muda Terjebak, Damkarmat Turun Tangan
-
4 Ledakan Gagal Hancurkan Mortir di Sleman, Warga Diimbau Mengungsi untuk Peledakan Lanjutan
-
Bye-bye Parkir ABA, Lihat Penampakan Parkir Baru di Ketandan, Anggarannya Fantastis