Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Kamis, 10 Juli 2025 | 20:00 WIB
Ilustrasi tikus penyebar infeksi Leptospirosis - Leptospirosis adalah. (Pexels)

SuaraJogja.id - Kasus leptospirosis di Kota Yogyakarta mengalami lonjakan tajam sepanjang semester pertama 2025. Jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu, jumlah kasus yang tercatat meningkat hampir dua kali lipat.

"Jadi kalau kita bandingkan di periode tahun lalu, di 2024, itu kasusnya memang saat ini lebih tinggi," kata Kabid Pencegahan, Pengendalian Penyakit, Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Dinkes Kota Jogja, Lana Unwanah kepada wartawan, Kamis (10/7/2025).

Dipaparkan Lana, pada 2024 kasus leptospirosis tercatat 10 kasus dengan kematian 2 kasus.

Sedangkan hingga semester pertama di tahun 2025 kasus leptospirosis sudah menyentuh 19 kasus.

"Dan mungkin yang cukup memprihatinkan adalah kematiannya yang cukup tinggi, yang sudah ada 6 kasus. Jadi sekitar 30-an persen ya, 31 persen kasus," paparnya.

Lana merinci sebaran kasus leptospirosis itu hampir merata di seluruh Kota Yogyakarta.

Mulai dari Mantrijeron 1 kasus; Mergangsan 1; Gondokusuman 1; Kotagede 2; Umbulharjo 1; Pakualaman 2; Gedongtengen 2; Ngampilan 2; Wirobrajan 1; Jetis 3; dan Tegalrejo 3 kasus.

"Jadi yang dari 14 kemantren, yang masih bebas tiga kemantren. Kraton tidak ada kasus, Danurejan dan Gondomanan," ungkapnya.

Disebutkan Lana, sebaran ini tak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Pada tahun lalu wilayah Gondomanan bahkan pernah mencatat banyak kasus, namun kini justru bebas.

Baca Juga: Wapres Kagum saat PSM UAJY 'Ngamen' di Alun-Alun Selatan Jogja, Personel Dapat Dukungan Tak Terduga

Sementara kasus leptospirosis yang berujung kematian terbagi di sejumlah wilayah.

"Tahun ini yang meninggal ada di Pakualaman 1, Gedongtengen 1, Ngampilan dua kasus dua-duanya meninggal, Wirobrajan 1, dan Jetis 1," tuturnya.

Satu Kasus Meninggal Terbaru

Salah satu pasien yang meninggal terakhir belum lama ini diketahui bekerja di bengkel luar kota. Namun belum dilakukan penyelidikan epidemiologi lebih lanjut.

"Kasus ke-19 atau kematian yang ke-6 itu baru Selasa [kemarin]," imbuhnya.

Disampaikan Lana, pasien itu diketahui mulai merasa sakit pada tanggal 30 Juni 2025. Namun yang bersangkutan baru kemudian mengakses layanan ke rumah sakit tanggal 7 Juli 2025 atau sekitar satu minggu kemudian.

"Mungkin perasaan sakit biasa gitu ya, sakit biasa. Kemudian di rumah sakit tipe D, ternyata terdiagnosis dan harus dilakukan cuci darah, tapi tidak ada fasilitas," ujar dia.

"Kemudian dirujuk ke rumah sakit besar, rumah sakit yang tipe B, persiapan cuci darah, tapi ternyata belum sempat cuci darah, kemudian pasiennya sudah meninggal," imbuhnya.

Lana mengungkap bahwa penyebab infeksi leptospirosis tidak selalu berkaitan dengan pekerjaan di lingkungan berisiko tinggi. Melainkan dari gaya hidup sehari-hari yang tidak bersih.

"Dari 19 kasus itu juga sebenarnya pekerjaannya tidak berhubungan gitu ya, ada yang pekerjaannya di swalayan, tapi kemudian punya hobi mancing gitu ya," ujarnya.

Ia menambahkan, ada pula kasus pada pelajar yang baru mengikuti kegiatan di luar ruangan seperti berkemah.

Rentang usia pasien kasus leptospirosis tahun ini pun beragam, dari pelajar berusia 17 tahun hingga warga berusia lebih dari 50 tahun.

Load More