SuaraJogja.id - Ketika sebagian kota tenggelam dalam dentuman sound horeg yang mendominasi panggung dengan pengeras suara besar, Yogyakarta nampaknya masih setia menabuh suara yang berbeda dengan gamelan.
Bukan sekadar alat musik, tetapi gamelan juga menandakan suara jiwa yang berbicara lebih dalam daripada gebyar festival musik kekinian.
Sebut saja dalam Yogyakarta Gamelan Festival (YGF) yang tahun ini genap berusia 30 tahun.
Festival gamelan kontemporer tertua di Indonesia ini kembali digelar dengan semangat merawat tradisi di tengah laju modernitas yang sering kali meniadakan akar budaya.
"Terbukti sekali lagi, hari ini kita telah memasuki tahun ke-30 penyelenggaraan festival gamelan. Ini menjadi agenda luar biasa," papar Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi disela pembukaan YGF di Yogyakarta, Senin kemarin.
Menurut Dian, kurator, pendamping, dan Kelurahan Budaya telah berkontribusi menggaungkan gamelan bukan hanya di tingkat lokal, tetapi juga global saat ini.
Hal ini jadi perhatian Gubernur DIY, Sri SultanHB X terhadap pelestarian gamelan yang terjadi sangat nyata.
Sultan bahkan menyebut gamelan sebagai nafas kebudayaan. Bahkan gamelan adalah semangat, bukan sekdar obyek atau bunyi-bunyian.
"Dalam dunia yang serba digital dan cepat berubah, gamelan mengajarkan ketenangan, keseimbangan, dan konektivitas," ujar dia.
Baca Juga: Detik-Detik Mencekam Kebakaran Lesehan di Jogja: Plafon Roboh, Anak Sesak Napas, Ini Kesaksian Warga
Sementara Program Director YGF, Ishari Sahida, yang akrab disapa Ari Wulu mengungkapkan, di tahun ke-30, lebih dari 400 peserta dari berbagai penjuru Yogyakarta terlibat dalam festival kali ini.
Mereka mempersembahkan tiga komposisi penting seperti Ladrang Prosesi karya Sapto Raharjo, Ladrang Birowang, dan karya kontemporer dari Mas Yov selama tiga hari kedepan.
"Tahun 1995, YGF terselenggara oleh Sektor Razia, dibantu teman-teman dari GLC Jerinx. Baru tahun 2000 muncul Komunitas Gaya 16," ungkapnya.
Menurut Ari, perayaan ini bukan sekadar selebrasi. Tapi niat baik untuk menghadirkan kembali wajah budaya Yogyakarta yang nyaris hilang di tengah dominasi musik massal dan ruang publik yang dipenuhi jual beli suara.
Di tengah arus komodifikasi, Yogyakarta tetap memilih irama sendiri melalui gamelan. Sebab gamelan menjadi suara peradaban yang tidak akan padam.
"Kami enggak punya gaya. Realita hari ini adalah ruang yang selalu berjualan dan mengorbankan ketenangan. Maka, kami coba hadirkan keamanan dalam festival ini," ungkap dia.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pemain Terbaik Liga 2: Saya Siap Gantikan Ole Romeny!
- Pemain Arsenal Mengaku Terbuka Bela Timnas Indonesia
- 1 Detik Pascal Struijk Resmi Jadi WNI, Cetak Sejarah di Timnas Indonesia
- 4 Sedan Bekas Murah di Bawah Rp 30 Juta: Perawatan Mudah, Cocok untuk Anak Muda
- Pelatih Belanda Dukung Timnas Indonesia ke Piala Dunia: Kluivert Boleh Ambil Semua Pemain Saya
Pilihan
-
42 Ribu Pekerja Terkena PHK di Tahun Pertama Prabowo Menjabat
-
BPK Ungkap Rp3,53 Triliun Kerugian Negara dari Era SBY Hingga Jokowi Belum Kembali ke Kas Negara
-
5 Rekomendasi HP 5G Xiaomi di Bawah Rp 4 Juta Terbaru Juli 2025
-
5 Rekomendasi HP 5G Samsung di Bawah Rp 4 Juta, Pilihan Terbaik Juli 2025
-
Pegawai Kemenkeu Berkurang Hampir 1.000 Orang, Sri Mulyani: Dampak Digitalisasi!
Terkini
-
Tambahan Dua Tersangka Perusakan Mobil Polisi di Godean, Total Empat Orang Ditahan Tak Saling Kenal
-
Kisah Ibu Okta di Tengah Lonjakan DBD Bantul: Antara Cemas Balita dan Pertanyaan Wolbachia
-
30 Tahun Jogja Pertahankan Gamelan: Lawan Deru Sound Horeg hingga Rawat Akar Budaya
-
Pengguna BRImo Tembus 42,7 Juta, Transaksi Makin Mudah dan Nyaman
-
Geger Jual Beli Seragam SMP di Sleman, Disdik Turun Tangan Usai Dilaporkan ke Ombudsman