Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Senin, 08 September 2025 | 19:45 WIB
Ketua KPKKI, Wahyudi Kumorotomo saat memberikan pernyataan di Jogja, Senin (8/9/2025). [Hiskia/Suarajogja]
Baca 10 detik
  • UU Nomor 17 Tahun 2023 terkait Kesehatan membuat resah para tenaga medis dan dokter
  • Bukannya meningkatkan pelayanan dan kualitas, tenaga medis seakan ditekan untuk mendapatkan revenue
  • KPKKI menilai bahwa UU ini bisa menjadi buruk jika tidak ditangani lebih lanjut
[batas-kesimpulan]

SuaraJogja.id - Komunitas Peduli Kebijakan Kesehatan Indonesia (KPKKI) melayangkan amicus curiae ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Amicus curiae sendiri merupakan seseorang atau lembaga organisasi yang menjadi relawan atau diminta oleh pengadilan untuk memberikan pernyataan atas kepeduliannya terhadap suatu perkara yang terjadi.

KPKKI menyoroti berbagai masalah dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Ketua KPKKI, Wahyudi Kumorotomo, menuturkan bahwa langkah ini diambil sebab beleid tersebut dinilai justru membuka ruang besar bagi komersialisasi layanan kesehatan di Indonesia.

Dia menyebut UU Kesehatan yang awalnya digadang-gadang mampu memperbaiki sistem justru berpotensi melemahkan akses publik terhadap layanan yang seharusnya menjadi hak konstitusional setiap warga.

"Kita melihat bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 yang sebenarnya adalah salah satu undang-undang yang kita harapkan akan memperbaiki status kesehatan publik di Indonesia ini ternyata banyak kelemahannya," kata Wahyudi, kepad awak media, Senin (8/9/2025).

Salah satu keprihatinan utama yakni terdapat kecenderungan kuat rumah sakit vertikal yang berada di bawah kendali Kementerian Kesehatan lebih diarahkan pada target pendapatan ketimbang peningkatan kualitas pelayanan.

Dari 37 rumah sakit vertikal, termasuk RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, para dokter disebut dibebankan target finansial hingga triliunan rupiah setiap tahunnya.

Akibatnya, indikator kinerja tenaga medis lebih menekankan pada revenue dibanding pengurangan penderitaan pasien.

Baca Juga: Pemisahan Pemilu Nasional & Lokal: Strategi Jitu Berantas Politik Uang atau Sekadar Tambal Sulam?

"Nah ini tidak terkontrol sekarang ini dengan adanya undang-undang ini. Sehingga kemudian mengakibatkan ya rumah sakit menjadi istilahnya tempat untuk hal-hal yang sifatnya komersial," ucapnya.

"Rumah sakit dan para dokter dipaksa, yang selama ini mereka menaati kode etik kedokteran bahwa dokter itu wajibnya adalah untuk tugas-tugas kemanusiaan menolong orang yang sakit sekarang dipaksa untuk mengkomersilkan berbagai macam layanan kesehatan," tambahnya.

Wahyudi menilai situasi itu semakin memperparah kondisi rumah sakit.

Ia mengkritik praktik evaluasi berbasis pendapatan yang bahkan membuat dokter dengan jumlah pasien rendah bisa dipindahkan ke daerah terpencil.

Dikendalikan Kementerian Kesehatan

Tak berhenti di situ, KPKKI turut menyoroti pergeseran wewenang kolegium pendidikan kedokteran yang kini lebih banyak dikendalikan Kementerian Kesehatan.

Padahal, sebelumnya lembaga itu berada di bawah institusi pendidikan tinggi dan dikelola oleh para guru besar serta pakar di bidang medis.

"Nah sekarang ini kolegium kemudian sebagian besar ditarik ke kewenangan kementerian kesehatan. Sehingga Kementerian Kesehatan dalam hal ini mengendalikan berbagai macam istilahnya rotasi dari setiap dokter spesialis di seluruh Indonesia," ungkap Wahyudi.

Persoalan lain yang dianggap membahayakan adalah program pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit (hospital based PPDS).

Sistem ini dinilai menurunkan kualitas pembelajaran karena lebih mirip pelatihan teknis dibanding proses mentoring antara residen dengan konsulen.

Kondisi ini, menurutnya, berpotensi melahirkan dokter spesialis yang kurang matang secara profesional.

"Kita tidak mempersoalkan bahwa keterlibatan rumah sakit itu tetap penting tetapi kalau kemudian prosesnya untuk pendidikan diantara para dokter spesialis ini tidak betul-betul mengutamakan keahlian, mengutamakan profesionalisme nah kita menghadapi banyak persoalan," ungkapnya.

Kontroversi Pengalihan Tugas hingga STR

Wahyudi tak lupa turut mengkritisi kebijakan task shifting atau pengalihan tugas dokter.

Misalnya dalam hal ini dokter umum diperbolehkan untuk melakukan tindakan operasi di daerah minim tenaga spesialis.

Ia mencontohkan tugas itu bisa berlaku pula saat diperlukan operasi sesar bagi ibu hamil yang hendak melahirkan.

Task shifting ini berpotensi membahayakan nyawa ibu dan bayi karena kompetensi medis untuk operasi sesar seharusnya dimiliki oleh dokter obstetri dan ginekologi, bukan dokter umum.

"Membedah ibu hamil yang kemudian memang sudah saatnya melahirkan itu perlu pengetahuan sistemik perlu pengetahuan yang bukan hanya dimiliki oleh seorang dokter umum tetapi betul-betul oleh dokter obstetri dan ginekologi [Obgyn]," ucapnya.

Tak kalah kontroversial, UU Kesehatan yang baru juga memungkinkan Surat Tanda Registrasi (STR) dokter berlaku seumur hidup tanpa evaluasi.

KPKKI menilai aturan itu berisiko menurunkan standar kompetensi dokter karena menghapus mekanisme resertifikasi yang penting bagi pembaruan ilmu medis.

Ditambahkan Wahyudi, ada pula isu soal masuknya dokter asing ke Indonesia yang turut dianggap sebagai ancaman.

Alih-alih menutup kekurangan tenaga medis, kebijakan ini justru bisa meningkatkan biaya layanan karena dokter asing cenderung menuntut bayaran lebih tinggi dibanding dokter dalam negeri.

"Jadi ini ada inkonsistensi dan seperti kita ketahui ujung-ujungnya sebenarnya adalah komersialisasi layanan kesehatan di seluruh Indonesia," tegasnya.

"Nah ini yang menjadi fenomena yang kita hadapi sekarang ini di rumah sakit-rumah sakit vertikal di seluruh Indonesia dan ini terjadi karena berbagai macam persoalan di dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2023 termasuk dalam peraturan turunannya PP nomor 28 tahun 2024," tambahnya.

Amicus curiae ini yang dikirim sejak Sabtu lalu, kata Wahyudi, juga mendapat dukungan dari berbagai elemen lain.

Mulai dari yayasan konsumen, asosiasi kedokteran, hingga sejumlah akademisi.

Load More