Muhammad Ilham Baktora
Rabu, 10 September 2025 | 18:04 WIB
Ilustrasi Pabrik Nuklir. (pexels)
Baca 10 detik
  • Efisiensi anggaran ikut memangkas sejumlah sektor
  • Pembangunan PLTN di Indonesia tak memiliki kepastian
  • Ada langkah untuk melakukan manuver agar PLTN tetap bisa berjalan
[batas-kesimpulan]

SuaraJogja.id - Pemerintah tengah melakukan efisiensi besar-besaran dalam berbagai sektor, termasuk pada bidang riset dan pembangunan energi.

Presiden Prabowo Subianto dalam pidato kenegaraan Rapat Tahunan MPR RI pada Agustus 2025 lalu bahkan menyatakan berhasil menyelamatkan Rp300 Triliun APBN 2025.

Di tengah efisiensi anggaran ini, nasib pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia yang hingga kini masih belum menemui kepastian arah kebijakannya.

Apalagi dalam pembangunannya, pemerintah ternyata tidak bisa menanggung seluru beban biaya riset dan infrastruktur energi tersebut.

"Untuk pembangunan PLTN atau infrastruktur besar lainnya, tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada pemerintah," papar Deputi Bidang SDM dan Iptek Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Edy Giri Rachman disela wisuda 74 lulusan Politeknik Teknologi Nuklir Indonesia BRIN di Yogyakarta, Rabu (10/9/2025).

Edy menyebut, untuk mengantisipasi terlambatnya pembangunan PLTN yang rencananya dilakukan pada 2032 akibat efisiensi anggaran pemerintah, banyak skema yang bisa ditempuh.

Mulai dari pinjaman luar negeri, kerja sama antarpemerintah atau G to G, sampai pola business to business dengan industri.

"Yang jelas, operatornya ke depan sangat mungkin bukan lagi pemerintah, melainkan pihak swasta, termasuk PLN atau perusahaan energi lainnya," tandasnya.

Dalam situasi efisiensi anggaran, pemerintah tidak bisa menanggung seluruh beban pembiayaan riset dan infrastruktur energi.

Baca Juga: Lebih Mengancam dari Bom Nuklir, Muhammadiyah Desak Capres Berkomitmen Atasi Perubahan Iklim

Menurutnya, sudah saatnya keterlibatan swasta lebih diperkuat, termasuk dalam sektor energi.

Edy menekankan perlunya mencari model bisnis yang tepat agar proyek energi besar, termasuk PLTN.

Dengan demikian mega proyek tersebut bisa dijalankan tanpa membebani APBN.

"Banyak model bisa dilakukan. Yang jelas, kita tidak boleh hanya bergantung pada pemerintah. Sama halnya dengan riset, di negara maju itu sebagian besar didanai industri, bukan pemerintah,” tambahnya.

Tak hanya pembangunan PLTN, Edy menyatakan opsi energi Indonesia ke depan masih terbuka luas.

Pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) mau tidak mau harus diperkuat, namun pilihan teknologi yang paling sesuai dengan kebutuhan dan kondisi ekonomi nasional masih terus dikaji.

Apalagi saat ini mau tidak mau kita harus memperkuat pemanfaatan energi terbarukan.

Namun harus dipertimbangkan juga mana yang lebih efektif dan efisien.

"Apakah nuklir, atau mungkin sumber lain dulu, sesuai kondisi keuangan negara. Yang jelas, kebijakan energi kita tidak bisa sepenuhnya bergantung pada pemerintah sebagai penyedia anggaran tunggal" ujar dia.

Menurut Edy, Indonesia juga perlu mengubah paradigma pendanaan riset di bidang nuklir.

Meski dorongan untuk menaikkan anggaran riset pada pemerintah, yang lebih penting adalah mendorong industri berkontribusi lebih besar.

Ia mencontohkan, di BRIN strategi yang ditempuh adalah memperbanyak pendanaan eksternal.

Apalagi riset harus dihilirkan menjadi produk di industri.

Dengan begitu, negara tidak harus menanggung semua biaya riset yang jumlahnya sangat besar.

"Pendanaan riset bisa berasal dari LPDP, program kerja sama luar negeri, hingga hibah penelitian internasional. Justru kami didorong untuk aktif mengajukan proposal riset ke eksternal. Jadi, kontribusi swasta dan mitra luar negeri harus ditingkatkan agar riset di tanah air bisa berkelanjutan," paparnya.

Sementara Direktur Poltek Nuklir BRIN, Zainal Arief mengungkapkan, sektor pendidikan di bidang nuklir sempat terguncang akibat pandemi Covid-19.

Output lulusan sempat menurun pada 2019–2020, namun tren mulai pulih sejak 2022.

Karenanya penyesuaian kurikulum diterapkan sejak 2024.

Hal ini agar lebih sinkron dengan kebijakan pemerintah dan regulasi PP Nomor 57 Tahun 2022.

"Kurikulum harus spesifik dan sesuai dengan visi lembaga yang menaungi, dalam hal ini adalah BRIN. Kami memfokuskan tiga program studi menjadi enam peminatan yang relevan dengan kebutuhan SDM untuk PLTN," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More