Muhammad Ilham Baktora
Selasa, 30 September 2025 | 14:08 WIB
Ilustrasi penangkapan seseorang oleh aparat polisi. (Ai.Google)
Baca 10 detik
  • Aksi penangkapan oleh aparat polisi semakin banyak saat ini
  • Dugaan keterlibatan aktivis sebagai penghasut atas kerusuhan besar saat Demo DPR di beberapa kota
  • Metode Jakarta pun kembali mengemuka saat ini bagaimana aparat menangkap tanpa prosedur yang jelas

SuaraJogja.id - Gelombang penangkapan aktivis sosial dan mahasiswa oleh aparat kepolisian akhir-akhir ini memicu kekhawatiran serius terhadap kondisi demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia.

Kasus-kasus seperti penangkapan Muhammad Fakhrurrozi (Paul) dari Social Movement Institute (SMI), Delpedro Marhaen dari Lokataru, hingga staf Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNY, Perdana Arie Veriasa, menyoroti dugaan praktik penangkapan tanpa prosedur yang jelas dan kurangnya transparansi dari pihak berwenang.

Fenomena ini, yang kian mencuat pasca demonstrasi DPR pada 27-31 Agustus 2025, mengundang perbandingan dengan metode represi di masa lalu dan menimbulkan pertanyaan tentang akuntabilitas aparat di era modern.

Gelombang Penangkapan Aktivis dan Mahasiswa: Pembungkaman Demokrasi di Era Digital

Penangkapan aktivis Paul di Yogyakarta pada Sabtu, 27 September 2025, menjadi salah satu sorotan utama.

Menurut Divisi Advokasi LBH Yogyakarta, Dhanil Alghifary, Paul ditangkap di kediamannya pada pukul 14.35 WIB oleh puluhan orang dengan sepeda motor dan dua mobil, beberapa di antaranya mengenakan baju gelap dan ada pula yang berseragam Satpol PP.

Paul dipaksa masuk ke dalam mobil tanpa surat keterangan penangkapan dan langsung dibawa ke Polda Jawa Timur, sehingga LBH Yogyakarta tidak mendapatkan surat resmi penangkapan.

Keluarga dan kuasa hukum Paul tidak mendapatkan pemberitahuan yang jelas mengenai penangkapannya.

Tak kalah mengkhawatirkan adalah kasus Perdana Arie Veriasa, mahasiswa dan staf BEM UNY, yang ditangkap oleh Polda DIY pada Rabu, 24 September 2025.

Baca Juga: Mahasiswa UNY Ditangkap Terkait Demo, Keluarga dan Pengacara Keluhkan Kurangnya Transparansi Polisi

Penangkapan ini diduga terkait dengan rangkaian aksi demonstrasi di Polda DIY akhir Agustus lalu, dengan Arie disangkakan tuduhan pengerusakan fasilitas umum di bawah Pasal 170, 187, atau 406 KUHP.

Tim hukum Barisan Advokasi Rakyat untuk Demokrasi dan Keadilan (BARA ADIL) menyoroti adanya dugaan tindakan kekerasan atau ketidaksesuaian prosedur saat penangkapan, serta kurangnya transparansi kepada keluarga dan kuasa hukum.

Keluarga aktivis Delpedro Marhaen menegaskan tidak akan mengemis permohonan ampun kepada pemerintah agar Delpedro dibebaskan. (Suara.com/Yasir)

Pemberitahuan kepada keluarga terlambat, baru disampaikan setelah penangkapan berlangsung.

Kasus Direktur Lokataru Foundatiom, Delpedro Marhaen, disebutkan sebagai bagian dari pola penangkapan aktivis tanpa prosedur yang jelas.

Pihak aparat diyakini menuding akun-akun media sosial yang digunakan atau dimiliki para aktivis ini sebagai sumber dan penghasut massa yang melakukan pengrusakan di sejumlah kota saat Demo DPR.

Tuduhan ini mengindikasikan adanya dugaan keterikatan aktivis terhadap kelompok tertentu, dan upaya untuk membungkam narasi yang menyampaikan kebenaran atas kemunduran demokrasi di Indonesia.

Load More