- Aksi penangkapan oleh aparat polisi semakin banyak saat ini
- Dugaan keterlibatan aktivis sebagai penghasut atas kerusuhan besar saat Demo DPR di beberapa kota
- Metode Jakarta pun kembali mengemuka saat ini bagaimana aparat menangkap tanpa prosedur yang jelas
Bayang-bayang Metode Jakarta: Represi dari 1965 ke 2025
Pola penangkapan yang mengedepankan asosiasi sosial daripada bukti tindakan nyata ini mengingatkan pada "Metode Jakarta" yang diterapkan pada tahun 1965.
Istilah yang dipopulerkan oleh Vincent Bevins ini merujuk pada kekerasan massal di Indonesia pada tahun 1965, di mana jutaan orang dicurigai komunis dan dihukum tanpa bukti pidana, hanya berdasarkan asosiasi mereka.
Pada masa Orde Baru, daftar nama disusun oleh aparat lokal, laporan RT, arsip organisasi, hingga kartu anggota koperasi, menjadi dasar untuk penangkapan massal, penghilangan, dan penyingkiran individu.
Logika 'bersalah karena asosiasi' (guilty by association) ini menutup ruang bagi warga untuk membela diri, mengubah identitas, bacaan, dan pergaulan menjadi pasal pidana.
Di era modern, "Metode Jakarta" ini menemukan bentuk barunya melalui kriminalisasi yang lebih rapi, terutama dengan memanfaatkan teknologi dan media sosial.
Tindakan sederhana seperti mengikuti (follow), membagikan ulang (repost), berkomentar, atau sekadar kedekatan sosial di dunia maya, bisa menjadi alasan penangkapan.
Jejak digital dikompilasi menjadi semacam basis data terselubung yang digunakan aparat untuk bergerak cepat, seringkali tanpa bukti pidana yang nyata.
Efek jangka panjang dari metode ini sangat merusak.
Baca Juga: Mahasiswa UNY Ditangkap Terkait Demo, Keluarga dan Pengacara Keluhkan Kurangnya Transparansi Polisi
Kepercayaan antarwarga terkikis, membuat orang ragu untuk berteman, membaca buku kritis, atau bergabung dalam lingkaran diskusi politik.
Solidaritas yang seharusnya menjadi fondasi masyarakat demokratis justru diubah menjadi risiko.
Aparat juga kerap melakukan "teater barang bukti," di mana buku, zine, atau poster politik dipamerkan sejajar dengan benda tumpul seperti batu atau botol, seolah-olah memiliki daya ledak yang sama.
Hal ini menciptakan narasi publik yang menghubungkan asosiasi visual dengan ancaman, padahal belum tentu mengarah pada tindakan kriminal.
Fenomena anonimitas massal dalam penangkapan juga kembali terulang. Dengan hampir 4000 orang ditangkap dan 959 di antaranya ditetapkan sebagai tersangka, mayoritas tidak dikenal publik, mempersulit upaya membangun solidaritas dan tekanan politik.
Mencermati Kembali Sejarah: Kekejaman PKI dan Konteks Represi
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 6 HP RAM 8 GB Paling Murah dengan Spesifikasi Gaming, Mulai Rp1 Jutaan
- 5 Tablet Snapdragon Mulai Rp1 Jutaan, Cocok untuk Pekerja Kantoran
- 7 Rekomendasi Sepatu Jalan Kaki Terbaik Budget Pekerja yang Naik Kendaraan Umum
- 7 Rekomendasi Body Lotion dengan SPF 50 untuk Usia 40 Tahun ke Atas
- 7 Pilihan Sepatu Lokal Selevel Hoka untuk Lari dan Bergaya, Mulai Rp300 Ribuan
Pilihan
-
Video Brutal Latja SPN Polda NTT Bocor, Dua Siswa Dipukuli Senior Bikin Publik Murka
-
Rolas Sitinjak: Kriminalisasi Busuk dalam Kasus Tambang Ilegal PT Position, Polisi Pun Jadi Korban
-
Menkeu Purbaya Ungkap Ada K/L yang Balikin Duit Rp3,5 T Gara-Gara Tak Sanggup Belanja!
-
Vinfast Serius Garap Pasar Indonesia, Ini Strategi di Tengah Gempuran Mobil China
-
Minta Restu Merger, GoTo dan Grab Tawarkan 'Saham Emas' ke Danantara
Terkini
-
Geger! Rusa Timor Berkeliaran di Sleman, Warga Panik Cari Pemilik Satwa Liar yang Lepas
-
Royal Ambarrukmo Yogyakarta Sambut Hangat Kunjungan Famtrip Budaya Travel Agent Tiongkok
-
Muaythai Kelas Dunia Bakal Guncang Candi Prambanan di 2026, Sensasi Duel Berlatar Warisan Dunia!
-
Sisi Kelam Kota Pelajar: Sleman Jadi 'Sarang' Narkoba, Mahasiswa Incaran Jaringan Via Instagram
-
Alarm! Pakar UGM Sebut Gen Alpha Rentan Depresi Akibat Digital, Orang Tua Wajib Tahu