- Minat kuliah di PTS yang ada di Jogja menurun
- Keterisian mahasiswa yang sebelumnya 70 persen di Jogja saat ini hanya 57 persen
- Sejumlah faktor jadi penyebab termasuk biaya hidup
SuaraJogja.id - Yogyakarta nampaknya tidak lagi menjadi primadona calon mahasiswa.
Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah V DIY mencatat, tingkat keterisian mahasiswa di lebih dari 50 perguruan tinggi swasta (PTS) di wilayah ini kini tinggal sekitar 57 persen.
Angka ini menunjukkan penurunan tajam dibanding tahun sebelumnya yang mencapai sekitar 70 persen.
Kondisi ini memunculkan kekhawatiran akan kemampuan kampus-kampus swasta untuk bertahan di tengah persaingan yang semakin ketat.
Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah V DIY, Setyabudi Indartono disela wisuda Universitas Siber Muhammadiyah di Yogyakarta, Kamis (23/10/2025) mengungkapkan penurunan ini tidak hanya disebabkan oleh faktor internal kampus namun juga karena perubahan pola minat masyarakat dan daya beli calon mahasiswa.
"Ada kampus yang tidak diperkenankan membuka penerimaan mahasiswa baru karena proses perpindahan, ada juga yang sudah membuka tapi pendaftarnya sedikit. Jadi memang beragam kondisinya," paparnya.
Menurutnya, persoalan utama terletak pada kualitas dan citra masing-masing perguruan tinggi.
Masyarakat kini semakin selektif dalam memilih kampus dengan memperhitungkan jarak, reputasi, hingga biaya hidup.
Banyak mahasiswa yang dulu ke Yogyakarta, sekarang memilih kuliah di daerahnya sendiri.
Baca Juga: Setelah 13 Tahun 'Mangkrak': 2 Kereta Kuda Keraton Yogyakarta Kembali 'Miyos'
Apalagi di daerah sudah banyak kampus yang berkembang, sementara biaya kos di kota ini juga besar.
"Jadi mereka pikir lebih efisien kuliah di tempat asal," jelasnya.
Setya menambahkan, LLDIKTI mencatat, dari berbagai jenis perguruan tinggi di DIY, hanya politeknik memiliki tingkat serapan mahasiswa tertinggi, sementara akademi menjadi yang terendah.
Universitas dan sekolah tinggi berada di posisi tengah.
"Kondisi ini menunjukkan pendidikan vokasi kini semakin diminati karena dianggap lebih relevan dengan kebutuhan dunia kerja," ungkapnya.
Setya menyebut, penurunan tingkat keterisian mahasiswa di PTS juga mengancam Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi di tingkat nasional.
APK perguruan tinggi di Indonesia pada tahun 2024 berada di angka 31 persen, sedangkan target nasional pada tahun 2027 mencapai 39 persen.
"Kalau kita hitung dengan laju pertumbuhan sekarang yang hanya 0,9 persen per tahun, tiga tahun ke depan APK kita baru mencapai sekitar 36 persen. Artinya masih jauh dari target," ujar dia.
Meski jumlah mahasiswa di PTS secara keseluruhan masih lebih banyak daripada di perguruan tinggi negeri (PTN), laju pertumbuhan PTS pun, lanjutnya jauh lebih lambat saat ini.
Ada riset yang menunjukkan pertumbuhan mahasiswa di PTN sekitar 5–6 persen per tahun.
Kalau dibiarkan, maka bisa jadi dalam beberapa tahun ke depan jumlah mahasiswa PTS dan PTN akan seimbang. Padahal PTS punya peran besar dalam menampung mahasiswa di seluruh Indonesia.
Untuk mengatasi hal ini, LLDIKTI mendorong kampus agar lebih adaptif dan inovatif, baik melalui peningkatan mutu, sosialisasi, maupun pengelolaan internal yang efisien.
Salah satu terobosan yang dinilai potensial adalah pengembangan program Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) yang kini mulai banyak diadopsi.
"Model PJJ bisa menguatkan daya serap perguruan tinggi dan meningkatkan APK kita," ungkapnya.
Ia berharap inovasi berbasis teknologi dapat menjadi solusi strategis bagi kampus dalam memperluas akses pendidikan, terutama bagi masyarakat yang berada di luar kota besar.
"Kita sangat berharap program seperti siber Muhammadiyah bisa menjadi alternatif yang efektif untuk meningkatkan partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia," tuturnya.
Sementara Rektor Universitas Siber Muhammadiyah, Bambang Rianto mengungkapkan kampusnya sejak awal berdiri memang dirancang dengan modus tunggal Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Konsep itu bukan sekadar solusi sementara, melainkan model pendidikan masa depan.
Dengan sistem berbasis Learning Management System (LMS), seluruh materi dan penugasan sudah disiapkan sebelum mahasiswa memulai semester baru.
Semua kegiatan belajar dilakukan secara daring, berbeda dengan universitas konvensional.
"Jadi ini benar-benar distance learning. Semua kuliah menggunakan teknologi. Mahasiswa bisa belajar kapan saja dan dari mana saja," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Mobil Keluarga 7 Seater Seharga Kawasaki Ninja yang Irit dan Nyaman
- Bukan Akira Nishino, 2 Calon Pelatih Timnas Indonesia dari Asia
- Diisukan Cerai, Hamish Daud Sempat Ungkap soal Sifat Raisa yang Tak Banyak Orang Tahu
- 21 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 22 Oktober 2025, Dapatkan 1.500 Gems dan Player 110-113 Sekarang
- 3 Rekomendasi Mobil Keluarga 9 Seater: Kabin Lega, Irit BBM, Harga Mulai Rp63 Juta
Pilihan
-
Makna Mendalam 'Usai di Sini', Viral Lagi karena Gugatan Cerai Raisa ke Hamish Daud
-
Emil Audero Akhirnya Buka Suara: Rasanya Menyakitkan!
-
KDM Sebut Dana Pemda Jabar di Giro, Menkeu Purbaya: Lebih Rugi, BPK Nanti Periksa!
-
Mees Hilgers 'Banting Pintu', Bos FC Twente: Selesai Sudah!
-
Wawancara Kerja Lancar? Kuasai 6 Jurus Ini, Dijamin Bikin Pewawancara Terpukau
Terkini
-
Dapat Duit Gratis dari DANA? Bongkar Trik DANA Kaget, Siapa Cepat Dia Dapat
-
Sleman Genjot Ekonomi Timur: Jalan Prambanan-Lemahbang Jadi Andalan, Warga Terima Sertifikat
-
Terungkap, Alasan PSIM Hancurkan Dewa United: Van Gastel Pilih Liburkan Pemain Setelah Kalah
-
Proyek Strategis Nasional (PSN) Untungkan Siapa? Jeritan Petani, Perempuan, dan Masyarakat Adat yang Terpinggirkan
-
Makan Bergizi Gratis Mandek? Guru Besar UGM: Lebih Baik Ditinjau Ulang