- Kasus DBD di Sleman menurun
- Meski ada 383 kasus belum ada kematian pasien
- Penyebaran Nyamuk Wolbachia dianggap berhasil sementara di Bumi Sembada
SuaraJogja.id - Kasus demam berdarah dengue (DBD) di Sleman tercatat mengalami tren penurunan hingga Oktober 2025.
Hal ini diyakini sebagai hasil dari penyebaran nyamuk Wolbachia.
Dinas Kesehatan (Dinkes) Sleman mencatat per Oktober ini, jumlah kasus tercatat sebanyak 383 kasus tanpa ada korban meninggal dunia.
Kepala Dinkes Sleman, Cahya Purnama, menyebut penurunan angka tren kasus DBD hingga kematian ini merupakan hasil dari penerapan teknologi Wolbachia, yakni pelepasan nyamuk pembawa bakteri yang mampu menekan penyebaran virus dengue.
"Kasus demam berdarah di Sleman, total jumlah kasus demam berdarah di Sleman ada 383 kasus," kata Cahya, kepada wartawan, Selasa (28/10/2025).
"383 kasus tidak ada yang meninggal, karena kita saat ini memang sudah menerapkan Wolbachia. Ada yang terkena, tapi menjadi ringan. Tidak menjadi berat," tambahnya.
Diakui Cahya, meskipun, belum seluruh wilayah menerapkan metode tersebut hasil itu setidaknya terlihat di beberapa lokasi. Misalnya saja kasus DBD di Kapanewon Depok, Sleman.
"Baru yang berhasil itu di Depok. Sekarang kasus penurunannya cukup tinggi. Depok itu sekarang hanya 29, penurunannya cukup tinggi. Depok itu biasanya ratusan itu. Sekarang bisa turun sampai hanya 29," ujarnya.
Meski begitu, sejumlah kecamatan lain masih mencatat kasus cukup tinggi, terutama wilayah padat permukiman.
Baca Juga: Jangan Anggap Sepele, Demam Plus Nyeri Betis? Awas Leptospirosis, Sleman Catat 9 Kematian
"Yang tertinggi malah kayak di Ngaglik ini 37 [kasus]. Kemudian Godean 41 [kasus]. Gamping 45 [kasus]. Ini malah masih tinggi,” ungkapnya.
Namun secara keseluruhan, Cahya menegaskan bahwa tren kasus DBD di Sleman memang menurun dibanding tahun sebelumnya.
Cahya menuturkan, keberhasilan program Wolbachia dipengaruhi oleh karakter lingkungan.
Wilayah padat penduduk lebih mendukung pertumbuhan nyamuk pembawa bakteri ini dibanding daerah pertanian.
"Karena Wolbachia itu kan pelepas liaran nyamuk, jadi dia butuh darah manusia untuk hidup. Tapi yang kita lepas di daerah barat yang banyak pertanian itu enggak hidup. Enggak bisa digigit orang," paparnya.
Menurut Cahya, perbedaan ini terjadi karena nyamuk Aedes Aegypti yang membawa Wolbachia bersifat antropofilik atau hanya menggigit manusia.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Model Honda Jazz Bekas Paling Murah untuk Anak Kuliah, Performa Juara
- 7 Rekomendasi HP RAM 12GB Rp2 Jutaan untuk Multitasking dan Streaming
- 4 Motor Matic Terbaik 2025 Kategori Rp 20-30 Jutaan: Irit BBM dan Nyaman Dipakai Harian
- BRI Market Outlook 2026: Disiplin Valuasi dan Rotasi Sektor Menjadi Kunci
- Pilihan Sunscreen Wardah yang Tepat untuk Umur 40 Tahun ke Atas
Pilihan
-
Timnas Indonesia U-22 Gagal di SEA Games 2025, Zainudin Amali Diminta Tanggung Jawab
-
BBYB vs SUPA: Adu Prospek Saham, Valuasi, Kinerja, dan Dividen
-
6 HP Memori 512 GB Paling Murah untuk Simpan Foto dan Video Tanpa Khawatir
-
Pemerintah Bakal Hapus Utang KUR Debitur Terdampak Banjir Sumatera, Total Bakinya Rp7,8 T
-
50 Harta Taipan RI Tembus Rp 4.980 Triliun, APBN Menkeu Purbaya Kalah Telak!
Terkini
-
Batik Malessa Mendapatkan Pendampingan dari BRI untuk Pembekalan Bisnis dan Siap Ekspor
-
Dukung Konektivitas Sumatra Barat, BRI Masuk Sindikasi Pembiayaan Flyover Sitinjau Lauik
-
Hidup dalam Bayang Kejang, Derita Panjang Penderita Epilepsi di Tengah Layanan Terbatas
-
Rayakan Tahun Baru di MORAZEN Yogyakarta, Jelajah Cita Rasa 4 Benua dalam Satu Malam
-
Derita Berubah Asa, Jembatan Kewek Ditutup Justru Jadi Berkah Ratusan Pedagang Menara Kopi