- Isu dugaan pencampuran etanol 10% pada Pertalite disorot akibat motor mogok di sejumlah daerah Jatim.
- Pakar UGM sebut tudingan belum terbukti, perlu uji lab; E10 justru dukung energi bersih tapi tak wajib.
- Ahli lain nilai isu ini bisa dimainkan pihak terganggu kepentingan migas; pemerintah diminta tanggap cepat.
SuaraJogja.id - Isu dugaan pencampuran etanol 10 persen (E10) pada bahan bakar jenis Pertalite tengah menjadi sorotan.
Pencampuran itu dituding menjadi penyebab motor brebet hingga mogok massal di sejumlah daerah Jawa Timur, seperti Bojonegoro, Tuban, dan Lamongan.
Menurut Pakar ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi, tuduhan bahwa campuran itu berdampak pada motor tak bisa langsung dibenarkan.
"Saya rasa nggak benar ya. Jadi yang sekarang ini itu menggunakan E5 sebenarnya bukan Pertalite, tapi Pertamax Green dengan campuran etanol 5 persen. Rencananya akan naik jadi 10 persen. Pertalite saya kira tidak (menggunakan etanol)," kata Fahmy dikutip, Jumat (31/10/2025).
Disampaikan Fahmy, perlu ada uji laboratorium untuk memastikan kerusakan pada sejumlah motor usai mengisi BBM bersubsidi.
Namun sejauh ini, ia bilang dugaan pencampuran Pertalite dengan bahan lain hingga memicu kerusakan mesin belum dapat dibuktikan.
Justru di sisi lain, wacana untuk menerapkan BBM dengan campuran etanol 10 persen ini perlu disambut baik.
Pasalnya hal itu dapat mendukung komitmen mengenai pergeseran menuju energi bersih.
Meskipun, Fahmy menegaskan pemerintah tetap perlu memberikan opsi kepada masyarakat. Dalam hal ini tetap menyediakan BBM tanpa campuran etanol.
Baca Juga: Siswa di Tiga Sekolah Sleman Dibawa ke Puskesmas usai Diduga Keracunan MBG, Satu Dirujuk ke RSA UGM
Hal itu mengingat masih ada beberapa kendaraan lama yang belum ramah BBM dengan campuran etanol.
"Saya mendukung E10, tapi jangan diwajibkan semua BBM dicampur etanol. Jangan sampai konsumen tidak punya pilihan," ucapnya.
Sementara itu, guru besar kebijakan publik UGM Wahyudi Kumorotomo menilai bahwa isu Pertalite dicampur etanol hingga merusak kendaraan merupakan informasi menyesatkan.
Menurutnya, isu tersebut berpotensi dimainkan oleh pihak tertentu yang merasa kepentingannya terganggu. Terutama dalam rantai impor migas.
"Saya melihat kemungkinan besar itu ada orang-orang yang merasa diganggu kepentingannya di antara mafia gas atau mafia minyak, itu yang kemudian melawan balik. Mereka bisa mengerahkan buzzer, membayar miliaran sehari juga kuat," ujar Wahyudi.
Wahyu bilang melempar berbagai isu viral ini dapat digunakan sebagai serangan balik dari kelompok yang merasa dirugikan.
Berita Terkait
Terpopuler
- JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
- Nikmati Belanja Hemat F&B dan Home Living, Potongan Harga s/d Rp1,3 Juta Rayakan HUT ke-130 BRI
- 5 Mobil Diesel Bekas di Bawah 100 Juta, Mobil Badak yang Siap Diajak Liburan Akhir Tahun 2025
- 9 Mobil Bekas dengan Rem Paling Pakem untuk Keamanan Pengguna Harian
- Sambut HUT ke-130 BRI: Nikmati Promo Hemat Hingga Rp1,3 Juta untuk Upgrade Gaya dan Hobi Cerdas Anda
Pilihan
-
Kehabisan Gas dan Bahan Baku, Dapur MBG Aceh Bertahan dengan Menu Lokal
-
Saham Entitas Grup Astra Anjlok 5,87% Sepekan, Terseret Sentimen Penutupan Tambang Emas Martabe
-
Pemerintah Naikkan Rentang Alpha Penentuan UMP Jadi 0,5 hingga 0,9, Ini Alasannya
-
Prabowo Perintahkan Tanam Sawit di Papua, Ini Penjelasan Bahlil
-
Peresmian Proyek RDMP Kilang Balikpapan Ditunda, Bahlil Beri Penjelasan
Terkini
-
BRI Gelar RUPSLB, Aset Tembus Rp2.123 Triliun Hingga Q3 2025
-
BRI Pastikan Pembayaran Dividen Interim Saham 2025 pada Januari 2026
-
Pohon Tumbang Jadi Momok saat Cuaca Ekstrem, BPBD DIY Waspadai Dampak Siklon Mendekat
-
Antisipasi Scam di Wisata Keraton Jogja saat Nataru, BPPD DIY Perketat Pengawasan
-
100 Tahun Perjuangan Perempuan Masih Jauh dari Keadilan, Stigma Korban KDRT Masih Seputar Pakaian