- Industri batik Indonesia menghadapi tantangan serius: lingkungan, kesejahteraan perajin, dan pemaknaan budaya.
- Pelaku budaya mendesak pengembalian arah industri batik ke nilai-nilai budaya dan manusia, bukan hanya ekonomi.
- Gen Z berperan penting dalam pelestarian batik melalui pemahaman makna dan pemanfaatan media sosial untuk edukasi.
"Kita adalah jembatan antara generasi lama dan generasi baru. Di tangan kita, batik bisa terus hidup atau justru berhenti menjadi sekadar pakaian upacara," tegas Marsha.
Bagi Marsha, batik adalah warisan nilai, bukan sekadar produk ekonomi. Proses pembuatannya yang panjang—dari pewarnaan, perebusan, penggunaan canting, hingga penyusunan motif—mengajarkan kesabaran, fokus, ketekunan, dan kerendahan hati.
"Nilai-nilai ini penting untuk dipahami oleh generasi saya," tandasnya.
Ia mengajak generasi muda untuk lebih dari sekadar mengenakan batik, tetapi juga menghargai pembuatnya, mengenal kisah di balik motif, berkolaborasi lintas generasi, membeli dengan kesadaran, dan mendukung keberlanjutan produksi.
"Harga yang mahal sering kali mencerminkan proses panjang dan keterampilan tinggi. Menghargai itu berarti berinvestasi dalam budaya kita sendiri," tegas Marsha, yang juga mendorong pemanfaatan media sosial sebagai ruang edukasi budaya.
"Gunakan ruang digital bukan untuk menjauh, tapi untuk menyebarkan pengetahuan. Buat konten, tulis artikel, adakan lokakarya lintas generasi," ajaknya.
Lingkungan dan Kesejahteraan Perajin: PR Besar Industri Batik
Karina Rima Melati, perwakilan PPBI Sekar Jagad Yogyakarta lainnya, turut menyoroti persoalan lingkungan dan ketimpangan sosial yang masih membayangi industri batik.
"Ternyata masih banyak kita temukan produsen batik yang bentuknya adalah home industri itu masih membuang limbah langsung ke sungai," ungkap Karina.
Baca Juga: Latih Ratusan KTB, Pemkot Yogyakarta Siap Perkuat Ketahanan Masyarakat Hadapi Bencana
Ironisnya, industri batik menyerap sekitar 200 ribu tenaga kerja di 47 ribu unit usaha dan menghasilkan nilai ekspor mencapai US$ 7,63 juta pada triwulan I 2025, namun persoalan limbah ini masih menjadi pekerjaan rumah besar.
Selain itu, rendahnya upah pekerja dan bias gender di sektor ini juga menjadi isu serius. Karina mendorong model koperasi berbasis komunitas yang lebih adil serta transparansi harga, agar nilai karya sebanding dengan kesejahteraan pembuatnya.
Pemberdayaan perajin harus sejalan dengan pemaknaan dan kecintaan terhadap batik melalui pemahaman mendalam. Tanpa perhatian serius terhadap aspek-aspek ini, keberlanjutan industri batik sebagai warisan budaya dan penopang ekonomi akan terus terancam.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Pilihan Produk Viva untuk Menghilangkan Flek Hitam, Harga Rp20 Ribuan
- 7 Mobil Bekas di Bawah Rp50 Juta untuk Anak Muda, Desain Timeless Anti Mati Gaya
- 7 Rekomendasi Mobil Matic Bekas di Bawah 50 Juta, Irit dan Bandel untuk Harian
- 5 Mobil Mungil 70 Jutaan untuk Libur Akhir Tahun: Cocok untuk Milenial, Gen-Z dan Keluarga Kecil
- 7 Sunscreen Mengandung Niacinamide untuk Mengurangi Flek Hitam, Semua di Bawah Rp60 Ribu
Pilihan
-
Trik Rahasia Belanja Kosmetik di 11.11, Biar Tetap Hemat dan Tetap Glowing
-
4 HP Memori 512 GB Paling Murah, Cocok untuk Gamer dan Konten Kreator
-
3 Rekomendasi HP Infinix 1 Jutaan, Speknya Setara Rp3 Jutaan
-
5 HP Layar AMOLED Paling Murah, Selalu Terang di Bawah Terik Matahari mulai Rp1 Jutaan
-
Harga Emas Naik Setelah Berturut-turut Anjlok, Cek Detail Emas di Pegadaian Hari Ini
Terkini
-
Stunting Sleman Turun Jadi 4,2 Persen, Rokok dan Pola Asuh Masih Jadi Musuh Utama
-
Demokrasi di Ujung Tanduk? Disinformasi dan Algoritma Gerogoti Kepercayaan Publik
-
Jalan Tol Trans Jawa Makin Mulus: Jasa Marga Geber Proyek di Jateng dan DIY
-
Batik di Persimpangan Jalan: Antara Warisan Budaya, Ekonomi, dan Suara Gen Z
-
Dinkes Sleman Sebut Tren Kasus ISPA Naik, Sepanjang 2025 Tercatat Sudah Capai 94 Ribu