- Tantangan media saat ini adalah menjaga kebenaran dan kepercayaan publik
- Ketajaman dan kecerdasan audiens harus lebih tajam di era seperti sekarang
- Ancamannya demokrasi tercoreng terhadap oknum yang sengaja memperkeruh isu
SuaraJogja.id - Gelombang disinformasi dan dominasi algoritma digital dinilai kian meresahkan.
Tidak hanya mengancam fondasi demokrasi tapi turut pula merusak ekosistem media di Indonesia.
Fenomena ini menjadi sorotan oleh sejumlah akademisi dan praktisi media dalam Seminar Nasional 'Disinformasi dan Algoritma: Bagaimana Media Digital Membentuk Opini Publik' yang digelar di University Club (UC) Universitas Gadjah Mada (UGM), Sabtu (1/11/2025).
Para pembicara sepakat bahwa tantangan terbesar media hari ini bukan lagi sekadar produksi berita, melainkan menjaga kebenaran dan kepercayaan publik di tengah pusaran algoritma yang tak terprediksi.
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni UGM, Arie Sujito, menilai ruang digital kini menjadi arena produksi dan reproduksi informasi tanpa batas.
"Media sosial makin banyak memproduksi dan mereproduksi apapun sebagai counter maupun kontestasi informasi," kata Arie.
Menurutnya, kecerdasan dan ketajaman audiens menjadi faktor kunci untuk menahan laju disinformasi.
Ia menekankan pentingnya memperkuat warga negara agar tetap cerdas dan kritis di tengah ruang informasi yang kian terbuka.
"Soal disinformasi dengan algoritma baru dan seterusnya, kecerdasan pembaca audiens itu sangat menjadi faktor kunci, bukan sekadar produsen informasi," tegasnya.
Baca Juga: Setahun Prabowo-Gibran: Kedaulatan Energi Nol Besar! Pengamat: Kebijakan Setengah Hati
Masa Sulit Bagi Media
Sementara itu, Aghnia Adzkia, jurnalis visual dan data BBC News Asia Pacific, menilai perkembangan era digital sekarang ini merupakan masa paling sulit bagi jurnalis.
"Di tengah gempuran AI dan ketidakpercayaan orang terhadap media dan tidak menganggap media sebagai sumber informasi reliable, ini menjadi masa yang paling sulit," ungkap Aghnia.
Namun persoalan ini tak bisa diselesaikan oleh jurnalis atau industri media semata. Melainkan perlu berbagai pihak untuk menghadapi gelombang disinformasi.
"Kita tidak bisa bergerak sendiri. Misalkan tingkatkan literasi digital, tingkatkan kolaborasi antar jurnalis, akademisi, praktisi, membuat sesuatu yang paling tidak meminimalisir adanya kesalahgunaan AI untuk penyebaran disinformasi," tandasnya.
Dari sisi industri media, Elin Y Kristanti, Executive Director Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), menyoroti bagaimana algoritma telah mengubah perilaku pembaca dan cara redaksi bekerja.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Bedak Viva Terbaik untuk Tutupi Flek Hitam, Harga Mulai Rp20 Ribuan
- 25 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 1 November: Ada Rank Up dan Pemain 111-113
- Mulai Hari Ini! Sembako dan Minyak Goreng Diskon hingga 25 Persen di Super Indo
- 7 Rekomendasi Mobil Bekas Sekelas Brio untuk Keluarga Kecil
- 7 Mobil Bekas Favorit 2025: Tangguh, Irit dan Paling Dicari Keluarga Indonesia
Pilihan
-
Jokowi Takziah Wafatnya PB XIII, Ungkap Pesan Ini untuk Keluarga
-
Nasib Sial Mees Hilgers: Dihukum Tak Main, Kini Cedera Parah dan Absen Panjang
-
5 HP dengan Kamera Beresolusi Tinggi Paling Murah, Foto Jernih Minimal 50 MP
-
Terungkap! Ini Lokasi Pemakaman Raja Keraton Solo PB XIII Hangabehi
-
BREAKING NEWS! Raja Keraton Solo PB XIII Hangabehi Wafat
Terkini
-
Paku Buwono XIII Wafat: Prosesi Pemakaman Raja di Imogiri Akan Digelar dengan Adat Sakral
-
Sleman Darurat Stunting: 4 Kecamatan Ini Jadi Sorotan Utama di 2025
-
3 Link Saldo DANA Gratis Langsung Cair, Buruan Klaim DANA Kaget Sekarang
-
Dibalik Keindahan Batik Giriloyo: Ancaman Bahan Kimia dan Solusi Para Perempuan Pembatik
-
Target PAD Bantul di Ujung Mata: Strategi Jitu Siasati Pengurangan Dana Transfer Pusat Terungkap