Ruth Meliana
Senin, 22 Desember 2025 | 10:05 WIB
ilustrasi buruh gendong (Suara.com)
Baca 10 detik
  • Bu Isah Ponirah memikul 50 kg di Pasar Beringharjo untuk menghidupi tiga anaknya yang masih sekolah.
  • Mbah Giyah (80 tahun) masih bekerja menggendong karena senang berkumpul dengan rekan sesama profesi.
  • Yayasan Yasanti telah memberdayakan buruh gendong melalui pelatihan negosiasi tarif dan keterampilan usaha.

SuaraJogja.id - Punggung Isah Ponirah tetap tegak setiap menyambut pembeli. Padahal, sehari-hari ia memikul beban seberat 50 kilogram, menembus lorong-lorong Pasar Beringharjo yang padat merayap.

Bermodalkan keranjang anyaman dan kain jarit, bu Isah, begitu sapaannya, terbiasa berjalan ratusan meter, kadang mencapai 1 kilometer, untuk sekali jasa menggendong. Profesi ini sudah dijalaninya selama 15 tahun.

"Kalau saya dulunya sekali gendong itu Rp3 ribu untuk 50 kilogram dari lantai 2 sampai lantai atas tempat parkiran. Tapi alhamdulilah sekarang sudah (diupah) Rp5 ribu untuk 50 kilogram," ucap bu Isah dengan senyum tulusnya kepada Suara.com.

Rumahnya berada di Kulon Progo. Untuk mencapai Pasar Beringharjo, bu Isah setiap hari menempuh perjalanan 20 kilometer dengan ongkos pulang pergi Rp20 ribu.

Setiap langkahnya menjadi asa bagi keluarganya. Dengan penghasilan tak menentu, bu Isah menjadikan punggungnya sebagai tulang punggung 3 anaknya yang masih sekolah.

"Saya memilih menjadi buruh gendong karena kalau ada yang memakai jasa kita itu langsung terima uang. Jadi saya pulang dari Beringharjo itu sudah bawa uang untuk sangu (uang jajan) anak saya sekolah besok," katanya.

"Penghasilan kita tidak menentu. Kalau ada yang memakai jasa kita banyak, kita itu pulang bawa uang. Kalau tidak ya paling sedapatnya, kadang dapat Rp30 ribu, dapat Rp40 ribu, dapat Rp50 ribu. Nanti ongkos pulang pergi saya itu Rp20 ribu," sambungnya.

Untuk menambal keuangan keluarga, bu Isah juga bekerja sambilan. Ia membawa aneka dagangan dari rumah untuk dikelilingkan di Pasar Beringharjo.

"Saya selain menggendong, saya juga punya kerja sampingan. Misalnya dari rumah ada pisang, ada apa gitu dibawa ke sini. Jadi kalau gak laku gendongnya, kita bisa jualan di sini. Kadang malam buat snack itu nanti paginya dikelilingkan di sini," tambahnya.

Baca Juga: Menjaga Nada dari Pita: Penjual Kaset Terakhir di Beringharjo yang Bisa Kuliahkan Tiga Anaknya

Rasa pegal dan lelah sudah menjadi makanan sehari-harinya, bahkan terkadang tidak terlalu dirasakannya. Jamu dan tukang urut pun menjadi obat mujarab.

"Ya kadang kalau capek-capek itu kita itu cuma bikin jamu, jamu bikinan sendiri itu seperti temulawak atau jahe. Ya mungkin kalau capek banget itu kita ke tukang pijat, ke tukang urut," kata bu Isah.

Sejak 2010 menjadi buruh gendong, bu Isah jarang tidak masuk kerja. Yang menjadi masalah ketika kecelakaan kerja menghampirinya. Di masa lalu, ia pernah terpeleset kala membawa beban 50 kilogram di punggungnya.

"Kalau di sini, buruh gendong itu setiap hari itu berangkat. Liburnya itu semisal kalau sakit, atau di pasar itu bisa keseleo atau jatuh. Saya pernah saya jatuh menggendong berat 50 kilogram, saya kepleset saya tidak masuk hampir seminggu karena kaki saya itu sakit," ceritanya.

Terlepas dari bahaya yang mengancam, profesi buruh gendong dijalaninya dengan penuh rasa bangga. Tiada kata malu di hatinya. Bu Isah sukses menjadi buruh gendong berdaya berkat pelatihan-pelatihan dari Yayasan Annisa Swasti (Yasanti).

"Saya enggak malu. Saya itu malah bangga menjadi buruh gendong. Saya di sini ikut paguyuban. Buruh gendong kan ada pendamping Yasanti. Nah, dari Yasanti itu saya mendapatkan pelatihan-pelatihan atau pengalaman-pengalaman yang belum pernah saya alami," tutur bu Isah.

Load More