Ruth Meliana
Senin, 22 Desember 2025 | 10:05 WIB
ilustrasi buruh gendong (Suara.com)
Baca 10 detik
  • Bu Isah Ponirah memikul 50 kg di Pasar Beringharjo untuk menghidupi tiga anaknya yang masih sekolah.
  • Mbah Giyah (80 tahun) masih bekerja menggendong karena senang berkumpul dengan rekan sesama profesi.
  • Yayasan Yasanti telah memberdayakan buruh gendong melalui pelatihan negosiasi tarif dan keterampilan usaha.

Meski pendidikan terakhir sekolah menengah pertama, tetapi rasa bangga bu Isah membuncah saat ia sanggup mewakili buruh gendong se-Daerah Istimewa Yogyakarta di luar negeri.

"Saya kan gak sekolah, bekalnya terakhir sekolah SMP. Jadi pengalaman dan pengetahuan saya dari Yasanti. Saya bangga tahun 2024 diutus Yasanti ke luar negeri untuk mewakili buruh gendong di Jogja. Saya bangga. Saya gak malu," tandas bu Isah.

Usia Senja Tanpa Jaminan: Mbah Giyah Giat Menggendong di Umur 80 Tahun

Mbah Giyah, buruh gendong berusia 80 tahun di Pasar Beringharjo (Suara.com/Zidan)

 

Di usia 80 tahun, mbah Giyah masih semangat menggendong. Badannya terlihat sehat dan bugar. Sehari-hari beliau mampu mengangkat beban 25 kilogram di punggungnya yang telah renta.

Alasan mbah Giyah masih menikmati menjadi buruh gendong ternyata sangat sederhana: ia bahagia berjumpa teman-teman satu profesi di Pasar Beringharjo.

"Saya senang kalau masih di pasar. Kalau di rumah nanti cuma gimana ya, gak ada kerjaan lainnya. Senang di pasar, gak dapat uang banyak tapi senang ketemu sama teman-teman," ungkap mbah Giyah kepada Suara.com.

Sang cucu sebenarnya telah mewanti-wantinya untuk beristirahat di rumah. Namun tentu saja, mbah Giyah menolaknya. Kesenangan menggendong sudah mendarah daging dan menjalar ke nadinya.

"(Keluarga) memperbolehkan. Aku itu sudah disuruh sama cucu, 'Mbok, nek wes kesel yo ning omah wae, rasah kerja (Nek, kalau sudah capek ya di rumah saja, tidak usah kerja). Tapi saya belum mau. Aku masih senang kerja," ucap mbah Giyah dengan ceria.

Hebatnya, mbah Giyah dulu hampir tidak pernah merasa pegal-pegal. Rasa capek baru terasa di usia senja. Padahal, beban yang diangkutnya tidak main-main.

"Ya kira-kira cuma 25 kilogram. Kalau dari atas ke bawah menggendong 25 kilogram masih kuat. Tapi kalau dari bawah ke atas, paling 15 kilogram ya mau, kalau berat ya gak mau. Kalau dulu 1 kwintal kuat. Satu karung gula pasir, dulu saya satu karung mau," kenang Mbah Giyah.

Baca Juga: Menjaga Nada dari Pita: Penjual Kaset Terakhir di Beringharjo yang Bisa Kuliahkan Tiga Anaknya

Sama seperti bu Isah, mbah Giyah juga pernah mengalami kecelakaan kerja sepanjang menjadi buruh gendong. Masalahnya sama: kepleset.

"Saya pernah jatuh waktu gendong. Tapi masih baru berapa tahun di sini, masih ada pasar lama. Saya kan bawa semen 2 sak, saya kepleset kulit mangga saat membawa 2 sak semen, terus jatuh. Terus saya masuk rumah sakit. Tapi kejadian sudah lama sekali," kisah mbah Giyah.

Ironinya, di usia renta ini, mbah Giyah justru tidak bisa mendapatkan akses perlindungan berupa BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan. Ini karena usianya sudah menginjak 80 tahun, yang mana seharusnya beliau dikategorikan telah pensiun.

"Sekarang itu saya sudah tidak ada BPJS. Dulu ya ikut paguyuban itu, tapi kan saya sudah tua jadi gak boleh. Jadi sekarang udah gak punya aku. Kalau dulu iya punya. Sekarang kalau sudah di atas 50 tahun ke atas sudah gak boleh," aku mbah Giyah.

Meski demikian, mbah Giyah tetap tersenyum penuh syukur, sambil mengaku sudah tidak pernah mengalami kecelakaan kerja lagi. Ia pun menitipkan harapannya kepada pemerintah.

"Iya bayar sendiri kalau ke rumah sakit. Ya alhamdulilah aku ndak pernah ke rumah sakit. Alhamdulilah. Harapan ke pemerintah yang pemerintahnya itu harus peduli sama yang gak punya-punya gitu lah," ucapnya.

Load More