Konon ceritanya setiap kuda sembrani yang dimandikan di Telogo Guyangan tersebut meninggalkan jejak di Gunung Api Purba Nglanggeran. Dulunya para Abdi dalem Keraton sering mengambil telapak kaki kuda tersebut dengan doa-doa tertentu.
"Sekarang telaganya sudah tertutup lumpur dan kami buat sebagai sawah untuk sumber penghidupan kami. Sementara sumber air di samping Telaga tersebut dimanfaatkan untuk kebutuhan warga dan juga irigasi sawah," tambahnya.
Selain Telaga Guyangan, di tempat ini juga ada memiliki tempat yang dikenal dengan nama Bukit Bantal. Bukit Bantal juga tidak lepas dari cerita keberadaan Putri yang mandi di telaga dan beristirahat di bebatuan yang mirip bantal.
Karena keberadaan pohon kina Gadung wulung yang memiliki pusaka cukup besar tersebut akhirnya Abdi dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mengadakan sayembara. Bagi siapa saja yang bisa menjaga pohon Kinah Gadung Wulung tersebut maka diberi tanah turun temurun.
Baca Juga:Status Pulau Komodo Ditutup Belum Jelas, Travel Bingung Jual Paket Wisata
Kalah itu ada seseorang yang bernama Iro Kromo atau gini di panggil sebagai Eyang. Iro Kromo. Eyang Iro Kromo akhirnya memiliki keturunan yang hingga saat ini tinggal di Kampung Pitu. Eyang Iro Kromo berhasil menjaga pohon Tinah atau Gadung Wulung tersebut. Namun selang beberapa tahun kemudian keberadaan pohon kina Gadung Wulung tersebut ditemukan lagi.
Kampung Pitu terus didatangi oleh para pemburu pusaka namun yang bertahan hanya tinggal tujuh orang. Di antara tujuh orang tersebut ada dua orang yang menikah namun karena adat istiadat yang ada di kampung Pitu mengharuskan, jika jumlah kepala keluarga yang tinggal di kampung di Tuhan hanya tujuh maka mereka harus keluar dari kampung pintu tersebut.
"Yang tinggal di sini adalah keturunan kelima Eyang Iro Kromo,"ungkapnya.
Sebenarnya di di kampung Pitu terdapat sembilan bangunan namun yang ditempati oleh warga hanya ada tujuh bangunan saja. Sampai saat ini keyakinan warga untuk menjaga kepala keluarga hanya berjumlah tujuh tetap dijaga. Jika ada keturunan yang menikah dan ingin tinggal di kampung tersebut maka harus menunggu salah satu kepala keluarga meninggal terlebih dahulu.
Untuk sementara, keturunan yang baru saja menikah harus tinggal di luar area Kampung Pitu. Jika hal ini dilanggar maka masyarakat Kampung Pitu percaya akan terjadi malapetaka yang menimpa mereka. Malapetaka tersebut bisa seperti anggota keluarga yang sakit-sakitan percekcokan hingga salah satu anggota keluarganya meninggal dunia.
Baca Juga:Pemdaprov Jabar Pastikan akan Kembangkan Wisata Air Sesuai Regulasi
Kejadian tersebut cukup nyata karena sudah terbukti beberapa tahun yang lalu. Sebelum gempa tahun 2006 yang lalu, ada salah seorang warga yang tanpa sepengetahuan keluarga besar di kampung Pitu yang secara sembunyi-sembunyi membuat kartu keluarga sendiri.