SuaraJogja.id - Pakar Kemaritiman Universitas Gadjah Mada (UGM), I Made Andi Arsana meminta masyarakat jangan terlalu khawatir dengan persoalan antara Indonesia dan pemerintah China, yang diduga akan 'mencaplok' Natuna.
Andi menjelaskan, di luar banyaknya wacana terkait Natuna yang memanas, perlu ada upaya agar pemahaman masyarakat menjadi jelas atas isu tersebut.
"Saya khawatir, isu ini kurang pas kalau Natuna itu diklaim China. Yang diklaim China itu bukan Natunanya, tapi dalam tanda kutip lautnya," ungkap Andi, kala ditemui SuaraJogja.id di kampus UGM, Senin (6/1/2020).
Andi mengungkapkan, memang klaim China tidak memiliki dasar hukum. Dan ketika China memakai alasan historis untuk klaim yang dilakukannya, itu merupakan langkah "ngawur". Karena ada banyak sekali yang diklaim oleh China, hingga sampai pada hak Indonesia.
Baca Juga:Ini Saran Pakar Hidrologi UGM ke Anies untuk Atasi Masalah Banjir Jakarta
Dosen Teknik Geodesi ini menyebut, Indonesia memiliki hak dari Natuna ke Utara 200 mil (ZEE). Namun, karena klaim China begitu panjang dan lebar ke arah Selatan, maka bersinggungan dengan hak Indonesia, yaitu ZEE yang disebut berjarak 200 mil tadi.
" Jadi perlu ditegaskan, Natuna itu tidak diklaim China dan tidak diragukan kepemilikannya. Natuna bukanlah pulau yang disengketakan," ungkapnya.
Andi mengakui, memang ada pulau-pulau di area laut china selatan yang sedang disengketakan. Namun pulau tersebut bernama Nansha atau Spratly Island.
"Bukan Natuna, saya khawatir orang mikirnya Natunanya yang diklaim. Jadi China punya kedaulatan atas Nansha, itu banyak orang tidak ngeh dan dikaitkan dengan Natuna, dikiranya Natuna," ujarnya.
Tetapi pada intinya, lanjut dia, secara hukum China itu tidak berhak sampai sejauh itu lautnya [sampai bertampalan dengan ZEE Indonesia]. Pasalnya, setiap orang tentu mempelajari, perihal jarak 12 mil disebut laut teritorial dan 200 mil disebut ZEE.
Baca Juga:Pengamat Hidrologi UGM Sarankan Warga di Sempadan Sungai Bersiap Mengungsi
Hanya saja memang, ketika China ditanyai alasan mereka klaim wilayah terlalu jauh, mereka menjawab dengan alasan historis.
Pandangan lainnya, China berpendapat batas yang ditentukan dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), baru hadir pada 1982. Sedangkan klaim China dinyatakan sejak 1940 atau aktivitas nelayan setempat.
"Maka [China berpikir] 'Wajar kalau kami [China] berbeda dengan UNCLOS' atau 'Jangan-jangan UNCLOS itu mengatur klaim kami'. Padahal hukum kan tidak berlaku surut. Ada juga argumen begitu," paparnya.
Menanggapi itu, Andi menilai dalam beberapa hal pandangan pihak China dapat dipahami. Namun, perlu juga dipahami bahwa, UNCLOS hadir untuk merapikan klaim-klaim yang tidak rapi.
"Seharusnya China itu kalau sudah mengakui UNCLOS ya sekarang dirapikan saja, jangan klaim sejauh itu [sampai menabrak ZEE Indonesia]," kata dia.
Kontributor : Uli Febriarni