Keturunan ke-7 Pangeran Diponegoro: Diponegoro Panggil Clerens "Dimas"

Roni mengatakan, keris yang disebut oleh sejarawan UGM Sri Margana adalah keris dengan bentuk Nogo Sosro Kamarogan, luk 11.

Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana
Minggu, 08 Maret 2020 | 10:03 WIB
Keturunan ke-7 Pangeran Diponegoro: Diponegoro Panggil Clerens "Dimas"
Ketua Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro (Patra Padi) Roni Sodewo - (SuaraJogja.id/Uli Febriarni)

SuaraJogja.id - Ada sejumlah nama berjajar dalam kisah panjang kembalinya keris milik Pangeran Diponegoro dari Belanda ke pangkuan Indonesia. Salah satu yang tak bisa dibuang dari sejarah adalah nama Kolonel JB Clerens.

Dalam satu dokumen yang terungkap di sebuah korespondensi, Clerens disebut menawarkan kepada Raja Belanda Willem I sebuah keris dari Diponegoro. Keris yang belakangan disebut keris Naga Siluman itu kemudian disimpan di Koninkelijk Kabinet van Zelfzaamheden (KKVZ). Setelah itu pada 1883, keris ini diserahkan ke Museum Volkenkunde Leiden.

Ketua Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro (Patra Padi) Roni Sodewo mengatakan, ia belum memegang keris itu langsung. Alasannya, keris itu baru saja kembali ke Indonesia beberapa hari yang lalu. Namun, ia tidak menolak kala diminta memberikan pernyataan mengenai keris yang kisahnya kini telah bertebaran di media sosial itu.

"Ada dua macam. Ada keris, ada dapur. Tentu dua hal yang berbeda, dapur Nogo Siluman ada. Kalau dapur Nogo Siluman, keris itu bukan berdapur Nogo Siluman, tetapi bisa saja keris itu punya gelar Kanjeng Kiai Nogo Siluman karena nama gelar tidak harus sama dengan dapur atau bentuk kerisnya," ungkapnya kepada SuaraJogja.id, Sabtu (7/3/2020).

Baca Juga:Viral! Ayam Hitam Dijual Rp 93.000, Warganet : Ayam Piaraan Black Panther

Roni juga mengamati gambar keris itu. Ia mengatakan, keris yang disebut oleh sejarawan UGM Sri Margana adalah keris dengan bentuk Nogo Sosro Kamarogan, luk 11.

"Bentuk keris lo ya, bentuk keris saya bilang, tapi bisa saja bentuk keris seperti itu, punya gelar atau nama Nogo Siluman," ungkapnya.

Selanjutnya, ia membantu menerangkan perihal kapan sebuah keris boleh berbeda antara nama dan bentuknya. Alasan pertama, sembari bercanda Roni menyebut, "Suka-suka yang punya."

"Alasan kedua, bisa juga karena yang akan digunakan sebagai nama sudah digunakan oleh pejabat keraton atau raja. Misalnya, ada dua keris yang sama bentuknya, yang satu sudah bernama sama dengan dapurnya, misalnya Nogo Sosro dan itu milik raja. Maka menjadi tidak etis, kalau ada keris yang bentuknya sama diberi nama sama. Maka kemudian diberi nama lain," tuturnya.

Keris Naga Siluman milik Pangeran Diponegoro yang lama tersimpan di Belanda akhirnya kembali ke tanah air, Sabtu (7/3/2020). [ist / dok.pribadi Sri Margana]
Keris Naga Siluman milik Pangeran Diponegoro yang lama tersimpan di Belanda akhirnya kembali ke tanah air, Sabtu (7/3/2020). [ist / dok.pribadi Sri Margana]

Mengikuti perkembangan media sosial yang begitu dinamis, ia melihat saat ini muncul banyak kontroversi, menjadikan banyak orang seolah-olah menjadi pengamat keris. Ia mengungkapkan, di Belanda pada 2019 sudah ada dua empu yang dipanggil ke Belanda, diundang oleh tim Tom Quist.

Baca Juga:Penyemprotan Disinfektan Cegah Penyebaran Corona di Masjid

"Dua empu ini dipanggil dalam waktu berbeda, disuruh melihat keris itu, memegang keris. Ternyata penilaian mereka berbeda. Yang satu bilang keris dibikin tahun sekian, yang satu bilang tahun sekian," ujarnya.

Singkat cerita, akhirnya yang diyakini sebagai bukti bahwa keris itu milik Diponegoro justru adalah data pendukungnya, antara lain dari surat-menyurat antara Sekretariat Hindia Belanda di Indonesia dengan Kerajaan Belanda bahwa Clerens akan menyerahkan keris kepada Raja Belanda dan keris itu pemberian atau milik Pangeran Diponegoro.

Kemudian, ada juga pernyataan Sentot Prawirodirjo bahwa Sentot pernah melihat dengan mata kepala sendiri dan dibuat pernyataan tertulis bahwa Pangeran Diponegoro pernah menghadiahkan keris kepada Clerens.

"Dari dokumen kedua ini, lalu muncul pendapat di Facebook "Mungkinkah Pangeran Diponegoro menghadiahkan kepada Belanda, orang yang dibenci?"" kata dia.

Menurut Roni, komentar seperti di atas merupakan pernyataan orang yang tidak pernah membaca buku. Orang-orang itu berpikir, kata dia, kalau zaman dahulu perang seperti masa sekarang sampai tak bertegur sapa bila berpapasan di jalan.

"Tidak seperti itu, dalam surat-menyurat dengan anaknya, surat-menyurat dengan Clerens, Diponegoro itu memanggil Clerens dengan sebutan Dimas. Artinya perbedaan posisi, perbedaan politik pada saat itu tidak memengaruhi hubungan pribadi," ujarnya.

Bukti pendukung lain, dalam babadnya sendiri, Pangeran Diponegoro juga menceritakan, beberapa kali menerima hadiah dari Clerens berupa kuda, bahkan kuda maupun uang dari De Cock.

Dari informasi yang dihimpun SuaraJogja.id, nama terakhir yang disebut Roni tadi memiliki nama lengkap Letnan Gubernur Jenderal Hendrik Merkus de Kock. De Kock merupakan pemimpin prajurit Belanda kala menjajah Indonesia pada era 1825-1830. Di masa itu, berhadapan dengan Pangeran Diponegoro, perang selalu berstatus waspada bagi prajurit Belanda.

"Artinya pertukaran hadiah antara mereka itu adalah suatu hal yang biasa," sambung Roni.

Belum selesai, Roni memaparkan bukti berikutnya. Ketika Raden Saleh mau melukis peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro, Raden Saleh sempat melihat keris itu, dan ada catatan yang dibuat oleh Alibasya Sentot.

"Nah di situ pula, di kertas yang sama, dipandu oleh Sentot dalam menulis, Raden Saleh memberikan catatan, menambahkan catatan tentang bentuk kerisnya, tentang ciri-ciri, detail, tentang makna Naga Siluman, kemudian keris itu disimpan," ucapnya.

Sebagai keturunan ke-7 Pangeran Diponegoro, Roni menilai, kembalinya keris itu ke tangan pemerintah Indonesia merupakan hal yang positif, tentu terlepas dari kontroversi yang muncul setelahnya.

"Harapan saya, keris itu dirawat, disimpan oleh pemerintah, tetapi jangan kemudian sekian tahun yang akan datang, justru menjadi barang yang akan beredar di pasar gelap, misalnya dipalsukan," kata dia.

Di mata Roni, sepertinya hal biasa di Indonesia, barang museum tiba-tiba raib lalu diganti dengan barang palsu dan beredar di pasar gelap.

"Jangan sampai terjadi, apa pun pusaka itu. Milik siapa pun pusaka itu," ucapnya.

Berikutnya, ia melanjutkan, momen ini menjadi waktu yang tepat bagi semua warga Indonesia, untuk mau belajar kembali, mau merasa memiliki kembali warisan-warisan leluhur, apa pun bentuknya itu.

Ditanyai perihal pernyataan dirinya yang nyaris serupa dengan pernyataan Sri Margana, Roni dengan blak-blakan mengaku sudah berbincang dengan Sri Margana.

"Ya, saya memang mewawancarai Margana karena Margana yang ditugaskan negara untuk menjemput keris itu. Kalau ada orang mau mem-bully Margana [karena tidak setuju apa yang diungkapkan], ya sah-sah saja. Margana juga santai karena memang warga kita ini senang bertikai," ungkapnya, lagi-lagi dengan diikuti tawa kecil. "Wajar kalau sampai sekarang kita ini dijajah. Kita tidak usah menyalahkan Belanda. Dijajahnya Indonesia, karena kita sendiri yang salah, suka berbeda pendapat dan bertikai."

"Kalau pada saat itu para pangeran di Indonesia tidak bertikai, kita tidak akan bisa dijajah. Kalau hari ini kita tidak bertikai, kita sudah menjadi negara yang hebat. Karena kita negara yang suka bertikai, maka kita bikin peniti pun tidak bisa," ungkapnya, menutup percakapan.

Menurut Roni, komentar seperti di atas merupakan pernyataan orang yang tidak pernah membaca buku. Orang-orang itu berpikir, kata dia, kalau zaman dahulu perang seperti masa sekarang sampai tak bertegur sapa bila berpapasan di jalan.

"Tidak seperti itu, dalam surat-menyurat dengan anaknya, surat-menyurat dengan Clerens, Diponegoro itu memanggil Clerens dengan sebutan Dimas. Artinya perbedaan posisi, perbedaan politik pada saat itu tidak memengaruhi hubungan pribadi," ujarnya.

Bukti pendukung lain, dalam babadnya sendiri, Pangeran Diponegoro juga menceritakan, beberapa kali menerima hadiah dari Clerens berupa kuda, bahkan kuda maupun uang dari De Cock.

Dari informasi yang dihimpun SuaraJogja.id, nama terakhir yang disebut Roni tadi memiliki nama lengkap Letnan Gubernur Jenderal Hendrik Merkus de Kock. De Kock merupakan pemimpin prajurit Belanda kala menjajah Indonesia pada era 1825-1830. Di masa itu, berhadapan dengan Pangeran Diponegoro, perang selalu berstatus waspada bagi prajurit Belanda.

"Artinya pertukaran hadiah antara mereka itu adalah suatu hal yang biasa," sambung Roni.

Belum selesai, Roni memaparkan bukti berikutnya. Ketika Raden Saleh mau melukis peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro, Raden Saleh sempat melihat keris itu, dan ada catatan yang dibuat oleh Alibasya Sentot.

"Nah di situ pula, di kertas yang sama, dipandu oleh Sentot dalam menulis, Raden Saleh memberikan catatan, menambahkan catatan tentang bentuk kerisnya, tentang ciri-ciri, detail, tentang makna Naga Siluman, kemudian keris itu disimpan," ucapnya.

Sebagai keturunan ke-7 Pangeran Diponegoro, Roni menilai, kembalinya keris itu ke tangan pemerintah Indonesia merupakan hal yang positif, tentu terlepas dari kontroversi yang muncul setelahnya.

"Harapan saya, keris itu dirawat, disimpan oleh pemerintah, tetapi jangan kemudian sekian tahun yang akan datang, justru menjadi barang yang akan beredar di pasar gelap, misalnya dipalsukan," kata dia.

Di mata Roni, sepertinya hal biasa di Indonesia, barang museum tiba-tiba raib lalu diganti dengan barang palsu dan beredar di pasar gelap.

"Jangan sampai terjadi, apa pun pusaka itu. Milik siapa pun pusaka itu," ucapnya.

Berikutnya, ia melanjutkan, momen ini menjadi waktu yang tepat bagi semua warga Indonesia, untuk mau belajar kembali, mau merasa memiliki kembali warisan-warisan leluhur, apa pun bentuknya itu.

Ditanyai perihal pernyataan dirinya yang nyaris serupa dengan pernyataan Sri Margana, Roni dengan blak-blakan mengaku sudah berbincang dengan Sri Margana.

"Ya, saya memang mewawancarai Margana karena Margana yang ditugaskan negara untuk menjemput keris itu. Kalau ada orang mau mem-bully Margana [karena tidak setuju apa yang diungkapkan], ya sah-sah saja. Margana juga santai karena memang warga kita ini senang bertikai," ungkapnya, lagi-lagi dengan diikuti tawa kecil. "Wajar kalau sampai sekarang kita ini dijajah. Kita tidak usah menyalahkan Belanda. Dijajahnya Indonesia, karena kita sendiri yang salah, suka berbeda pendapat dan bertikai."

"Kalau pada saat itu para pangeran di Indonesia tidak bertikai, kita tidak akan bisa dijajah. Kalau hari ini kita tidak bertikai, kita sudah menjadi negara yang hebat. Karena kita negara yang suka bertikai, maka kita bikin peniti pun tidak bisa," ungkapnya, menutup percakapan.

Kontributor : Uli Febriarni

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini