SuaraJogja.id - Himbauan untuk tetap berada di rumah dan mengurangi aktivitas di luar ruangan apabila tidak dalamkepentingan darurat gencar dilakukan. Baik oleh aparat negara maupun aktivis kesehatan.
Tidak sedikit bidang usaha yang mulai memberlakukan sistem kerja di rumah atau work from home (WFH). Namun, faktanya tidak semua perusahaan bisa meliburkan pekerjanya dan tidak semua pekerjaan bisa dilakukan di rumah.
Salah satunya adalah Andika, seorang pekerja swastayang tetap berangkat bekerja meski pemerintah mengimbau untuk diam di rumah. Ia tetap bekerja seperti biasa, dengan beban 8 jam kerja di tengah maraknya himbauan untuk bekerja dari rumah.
"Rasanya takut. DImana-mana menganjurkan untuk bekerja di rumah, tapi saya harustetap bekerja seperti biasa," kata Andika Sabtu (28/3/2020).
Baca Juga:Polisi 7 Kali Cabuli Mertua, Tepergok Istri Simpan Foto-foto Lansia di HP
Dengan perasaan was-was, ia berusaha menghindari kerumunan massa. Pemberitaan tentang meningkatnya jumlah ODP, PDP maupun pasien positif corona membuatnya semakin tidak tenang.
Ia sempat mengaku demam karena ketakutan berlebih. Bahkan, ia secara gamblang menjelaskan ketakutannya keluar rumah sudah mempengaruhi pikirannya, meski ia tetap berusaha berpikir positif.
Hingga kini, tempat kerjanya belum melakukan sistem kerja dari rumah dengan beberapa alasan. Hak-hak karyawan memang harus tetap dipenuhi. Sementara, perusahaan tidak dapat pemasukan jika pegawai diliburkan atau bekerja dari rumah.
Tidak jauh berbeda dengan Andika, hal serupa dirasakan Eva, salah satu pegawai swasta dibidang jasa di Yogyakarta. Terlebih, kala bekerja dia harus bertatap muka dengan pelanggan.
"Rasanya campur aduk banget, kerjaanku di bidang jasa yang harus bertatapan dengan customer. Apalagi tempat kerjaku itu gerbang keluar masuknya WNA," kata Eva sambil menunjukkan salah satu benda yang tidak pernah jauh darinya akhir-akhir ini, sebotol kecil hand sanitizer tak lebih dari 60 ml.
Baca Juga:Raffi Ahmad Galang Dana Rp 1,2 Miliar untuk Lawan Virus Corona
Ia tidak bia menyembunyikan rasa khawatirnya, beberapa kali ia membersihkan tangannya dengan hand sanitizer setelah menghadapi pelanggan.
"Rentan diskriminasi sama orang asing dan orang yang lagi sakit," bisiknya.
Belakangan, Eva menjadi lebih rajin mencuci pakaian, serta menjaga makanan agar tidak sembarangan. Sebelum masuk dan keluar kantor, Pegawai rutin disemprot dengan cairan disinfektan.
"Liat berita, bikin khawatir. Gimana manajemen perusahaan kalau dalam keadaan krisis yang mungkin saja terjadi," ujarnya.
Eva berharap, perusahaan memiliki kebijakan terbaik, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
Hingga kini, tempatnya bekerja masih akan terus beroperasi. Maklum saja, karena perusahaan yang bergerak dibidang jasa dan operasional pelayanan membuat para karyawan tidak bisa mengerjakan tugasnya di rumah.
Serupa tapi tak sama. Ramadhan, seorang penyiar radio swasta, masih memiliki beban 8 jam kerja 3 kali dalam seminggu.
"Takut kalo aku bawa virus dan nularin ke orang lain, atau aku yg malah sakit karena semua org bisa kena kan," kata Rama.
Dengan sistem kerja kantor yang dikurangi, membuatnya harus bekerja sendiri tanpa ada kru. berbeda dengan Andika dan Eva yang takut dengan pemberitaan covid-19. Rama mengaku tak terlalu khawatir. Menurutnya, masih ada hal positif yang bisa diambil dengan bekerja separuh di rumah.
Ia juga berpendapat kesadaran akan kebersihan dan penerapan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di masyarakat kini semakin meningkat.
Ia mengakui tetap khawatir saat menggunakan berbagai fasilitas umum meskipun pihakterkait sudah melakukan disinfektasi. Rama juga menyarankan masyarakat agar tidak menganggap remeh wabah virus corona yang melanda Indonesia.
"Jangan menganggap remeh kejadian sekecil apapun, belajar dari negara yang sudah-sudah," kata Rama.