SuaraJogja.id - Hasil Rapat Dengar Pendapat (RPD) Komisi II DPR RI, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri), BAWASLU dan DKPP memunculkan gagasan pelaksanaan Pilkada akan dilaksanakan pada 9 Desember mendatang.
Menanggapi gagasan tersebut, KPU Kabupaten Bantul menggelar diskusi aktual bersama dengan Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) untuk mencari format penundaan pemilihan Pilkada 2020.
Menurut Ketua KPU Kabupaten Bantul, Didik Joko Nugroho, hasil RDP yang memundurkan pelaksanaan Pemilu hingga akhir tahun akan menyebabkan beberapa konsekuensi.
Ia memaparkan, setidaknya akan ada tiga konsekuensi yang dihadapi dalam penyelenggaraan Pilkada di daerah. Tiga konsekuensi tersebut diantaranya adalah, KPU perlu melihat kembali regulasi yang ada. Didik memastikan akan adanya perubahan produk hukum.
Baca Juga:Saat Krisis Wabah Corona, Jokowi Izinkan Wapres Tambah 2 Staf Khusus
"Sikap kami nanti akan menunggu produk hukum yang resmi," kata Didik saat dihubungi suarajogja.id Kamis (16/4/2020).
Salah satu regulasi yang akan berubah terkait dengan tahapan, program dan jadwal pemilihan. Konsekuensi selanjutnya berkaitan dengan SDM, termasuk didalamnya badan ad hoc.
Didik menjelaskan, KPU perlu meninjau kembali kesiapan badan ad hoc, yakni Paniti Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang saat ini berada dalam masa penundaan masa kerja.
"KPU harus melihat apakah PPK dan PPS masih memenuhi syarat sebagai penyelenggara pemilihan," kata Didik.
Selanjutnya, konsekuensi lain yang perlu dipertimbangkan yakni mengenai ketersediaan anggaran. Saat ini, transaksi anggaran Pilkada dihentikan sepenuhnya.
Baca Juga:Pertama Kali! Pasien Sembuh Corona RI Capai 102, Totalnya Jadi 548 Orang
Dalam kesimpulan hasil RDP pertama, dikatakan akan adanya realokasi anggaran Pilkada untuk penanganan Covid-19.
Jaminan anggaran untuk penyenggaraan pilkada menjadi penting agar tahapan yang berjalan tidak ada kendala. Didik menjelaskan bahwa saat ini KPU sudah diminta untuk melakukan cut-off anggaran.
Namun, Didik menerengkan bahwa hingga saat ini belum ada produk hukum resmi mengenai penundaan Pilkada. Hingga saat ini, pihaknya masih menunggu arahan lebih lanjut dari KPU Pusat.
Menanggapi fenomena yang terjadi saat ini, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII, Sri Hastuti Puspitasari mengatakan, mengacu pada hasil RPD kedua tersebut, diperlukan dasar hukum mutlak berupa Perppu.
"Secara Yuridis ada emergency power dalam penundaan pelaksanaan Pilkada," tutur Sri melalui forum diskusi online.
Melihat situasi wabah Covid-19 ditengah penyelenggaraan Pilkada serentak ini, lanjut Sri, maka cukup relevan untuk Presiden mengeluarkan Perppu penundaan Pilkada dengan segera.
Kondisi saat ini dinilai sudah memenuhi tiga syarat dari Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai kegentingan yang memaksa penerbitan perpu.
"Paling tidak ada tiga hal yang menegaskan situasi ini yaitu pertama ada situasi yang mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat, kedua norma hukum yang ada tidak memadai atau terjadi kekosongan hukum dan ketiga memberikan kepastian hukum," ujarnya.