Cerita Relawan COVID-19 Sleman: Demi Kemanusiaan, Nyawa Jadi Taruhan

Bagi mereka, menjadi garda terdepan penanganan Covid-19 bukan lagi masalah materi melainkan panggilan nurani.

M Nurhadi | Muhammad Ilham Baktora
Kamis, 07 Mei 2020 | 17:30 WIB
Cerita Relawan COVID-19 Sleman: Demi Kemanusiaan, Nyawa Jadi Taruhan
Petugas PMI Sleman menyemprotkan desinfektan ke liang kubur setelah pemakaman jenazah yang diduga terpapar Covid-19. [Dok-PMI Sleman]

SuaraJogja.id - Terik panas matahari di Kantor Palang Merah Indonesia (PMI) Sleman siang tak menyurutkan semangat relawan mencuci perlengkapan seperti helm, sepatu boot, hingga kacamata pelindung. Meskipun mereka baru saja melaksanakan pemakaman pasien dengan pengawasan (PDP) yang diduga terpapar Covid-19, Kamis (7/5/2020).

Sebagian relawan terlihat membersihkan diri, sementara yang lain menghabiskan waktu untuk beristirahat saat Suarajogja.id menyambangi kantor mereka.

Markas PMI Sleman yang menjadi salah satu Posko Satgas Darurat Covid-19 memiliki ratusan cerita yang terselip selama wabah Corona merebak di Yogyakarta.

Satgas yang telah membantu 12 kali pemakaman pasien ini menceritakan betapa sulitnya menggunakan alat pelindung diri (APD) berupa baju hazmat. Resiko besar juga mengancam relawan lantaran kurangnya sirkulasi udara di baju hazmat bsa menyebabkan dehidrasi dan kesulitan bernapas.

Baca Juga:Dibolehkan Menhub, Stasiun Gambir akan Beroperasi di Tengah Larangan Mudik

"Jika dibilang resiko, sangat beresiko saat menggunakan hazmat dengan perlengkapan lainnya. Namun lebih beresiko lagi jika tak menggunakan APD ini saat situasi pendemi Corona," terang Septiadi Pitianta (33) saat ditemui suarajogja.id, Kamis.

Adi sapaan akrabnya,  bertugas sebagai relawan humas di Satgas Covid-19, ia senantiasa memperhatikan kondisi kesehatan anggota yang akan terjun untuk melakukan pemakaman.

"Selalu kita cek terlebih dahulu kesehatan anggota. Bagaimana suhu tubuhnya, tekanan darah, termasuk psikis mereka. Karena menggunakan APD ini tak hanya menggunakan seragam tertutup tapi ada resiko kelelahan hingga kemungkinan dehidrasi," terang dia.

Sejumlah relawan PMI Kabupaten Sleman mengenakan APD berupa baju hazmat sebelum melakukan proses pemakaman jenazah diduga Covid-19. [Dok-PMI Kabupaten Sleman]
Sejumlah relawan PMI Kabupaten Sleman mengenakan APD berupa baju hazmat sebelum melakukan proses pemakaman jenazah diduga Covid-19. [Dok-PMI Kabupaten Sleman]

Menggunakan APD sudah menjadi kewajiban bagi mereka. Tidak boleh ada sedikit celah di APD, karena hal itu bisa menjadi faktor penyebaran virus.

"Jadi harus dibantu, memang ada level-level tertentu pada APD, namun yang jelas, celah-celah ini harus tertutup, biasanya di sill (diplester) agar tertutup rapat. Durasi pemakaiannya bisa mencapai 20 sampai 30 menit, paling lama 45 menit," katanya.

Baca Juga:Jasad ABK Indonesia Dibuang ke Laut, BPIP: Bertentangan dengan Kemanusiaan

Selain baju hazmat, sepatu boot, sarung tangan respirator mask atau masker N95 kacamata atau google juga digunakan. Bahkan ketika masih ada celah udara masuk, bagian muka juga harus diplester.

"Jadi sirkulasi udara nol, sehingga keadaan di dalam APD panas dan akan mengeluarkan banyak keringat. Beberapa kasus kami melakukan pemakaman pada siang hari. Pernah terjadi pada kasus ke-9 saat kami memakamkan pasien diduga covid di Godean. Karena salah komunikasi, tim PMI yang akan menjemput pasien di rumah sakit harus menunggu 45 menit. Karena pasien yang akan dimakamkan belum siap," katanya.

Adi yang saat itu bertugas dalam pemakaman harus menunggu dengan cara berdiam diri di tempat yang lebih dingin. Mereka tak bisa sembarangan membuka APD karena mengenakannya saja harus memakan waktu yang tak sedikit.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak