SuaraJogja.id - Secara jamak pelecehan seksual merupakan istilah non hukum yang secara informal menjelaskan perilaku pendekatan yang terkait dengan seks yang tak diinginkan, termasuk permintaan melakukan seks atau perilaku lainnya yang secara verbal atau fisik menjurus kepada hal-hal terkait seks.
Dinukil dari Rainn.org, bentuk pelecehan seksual mencakup Pertama: Pelecehan fisik yang berupa sentuhan yang tak diinginkan mengarah ke perbuatan seksual seperti mencium, menepuk, mencubit. Kedua: pelecehan lisan termasuk ucapan verbal atau komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi atau bagian tubuh hingga penampilan seseorang dan juga lelucon yang bernada seksual.
Ketiga: Pelecehan isyarat termasuk bahasa tubuh, gerakan tubuh bernada seksual, kerlingan mata, menatap secara terus menerus penuh nafsu, isyarat dengan jari atau menjilat bibir.
Keempat: Pelecehan tertulis termasuk menampilkan gambar dan yang serupa dengannya yang terkait pornografi atau pelecehan lewat email dan moda komunikasi elektronik lainnya.
Baca Juga:Lebaran di Tengah Pandemi, Jasa Penukaran Uang di Jogja Sepi Peminat
Kelima: Pelecehan psikologis yang terdiri atas permintaan-permintaan dan ajakan yang terus menerus dan tidak diinginkan, ajakan kencan yang tak diharapkan hingga celaan yang bersifat seksual.
Di Jogja terdapat sejumlah kasus besar terkait pelecehan seksual yang terjadi dalam kurun lima tahun belakangan. Dan sebagian besar kasus tersebut mirisnya terjadi di lingkungan kampus.
Sebut saja kasus Maria yang dilecehkan oleh seorang dosen di UGM hingga yang terbaru menimpa sosok Lani di UII.
Kasus pelecehan seksual di UII bermula dari aduan yang disampaikan Lani (bukan nama sebenarnya) ke LBH Yogyakarta yang mengaku menjadi korban pelecehan seksual salah satu seniornya yakni IM.
"Kami menerima pengaduan awal dari penyintas pada 17 April lalu, dimana penyintas bercerita mengalami tindakan kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh IM. Sesuai SOP, kami meminta orang ini mengisi formulir termasuk memenuhi syarat lain misal identitas, kemudian kami proses dengan memberikan advokasi hukum. Kami juga telah mengetahui bahwa penyintas telah didampingi oleh psikolog UII," terang Direktur LBH Yogyakarta, Yogi Zulfadhli kepada Suarajogja.id di kantornya Senin (11/5/2020).
Baca Juga:Curhat Buruh Gendong Jogja, Bawa Barang 50 Kg Hanya Dibayar Rp 5 Ribu
Yogi menerangkan, berawal dari laporan tersebut, satu per satu korban lain yang diduga juga pernah bersinggungan dengan IM membuat pengaduan. Selain itu sejumlah penyintas juga mulai angkat suara di media sosial dengan persoalan yang mereka alami.
"Nah saya kurang tau persis akhirnya dia (Lani) speak up ke teman yang lain dan kemudian dari satu orang itu jumlah pengadu semakin hari semakin bertambah. Pada akhir April ada sekitar tiga pengadu yang masuk. Hingga kami membuat konferensi pers pada 4 Mei 2020, total ada 30 pengadu. Semuanya punya keterhubungan yang sama dengan terduga pelaku IM itu," jelas Yogi.
Dalam perkembangannya, Yogi mengungkapkan tak sedikit di antara para penyintas yang hingga kini masih mengalami trauma. Situasi ini sedikit banyak turut memengaruhi komunikasinya dengan para penyintas.
"Kondisi penyintas saat ini sedang proses pemulihan, LBH Yogyakarta saat ini fokus terhadap upaya pemulihan psikologis korban. Kami tidak bisa memastikan tiap orang bagaimana keadaannya, hanya saja ada informasi dimana penyintas secara psikologis mengalami goncangan atau syok," kata dia.
Kampus masih setengah hati menindak pelaku pelecehan seksual
Sementara itu kelompok UII Bergerak yang selama ini lantang mengawal kasus Lani dkk menyebut pihak kampus masih setengah-setengah dalam menangani kasus pelecehan seksual yang terjadi di UII.
Mereka mempertanyakan Bidang Etika dan Hukum (BEH) UII yang justru tidak terlibat secara aktif dalam menangani kasus hukum terkhusus pelecehan seksual yang menimpa mahasiswa UII.
"Meski kampus sudah mengatakan sejak 2016 IM telah berstatus sebagai alumnus, justru pernyataan UII ini malah mencoba mengaburkan bahwa kejadian yang dilakukan IM berada dalam lingkungan UII. Kampus melihatnya secara legal dia alumni tapi tidak melihat secara keseluruhan bahwa yang dilakukannya juga dilakukan ketika ia mahasiswa aktif dan ada pula penyintas yang masih mahasiswi aktif," ujar perwakilan UII Bergerak, Paul.
Lebih jauh, mereka juga mempertanyakan terkait kerja tim pencari fakta yang telah dibentuk oleh pihak rektorat. Menurut mereka tim pencari fakta sulit dideteksi keberadaannya karena tidak adanya transparansi kepada publik terkait susunan dan pemahaman tentang kekerasan seksual dan keberpihakan penuh pada penyintas.
"Pada dasarnya kami yakin atas keberpihakan penuh pada penyintas bukan hanya dinyatakan secara lisan ke publik tapi juga tindakan nyata," ungkapnya.
Meski demikian, UII bergerak mendukung sikap kampus untuk tidak melibatkan IM dalam seluruh acara yang ada di lingkungan UII. Pihaknya juga mengimbau kepada seluruh institusi yang ada di Indonesia dan Melbourne University untuk tidak melibatkan IM dalam semua acara. Selain itu, memastikan UII secara institusi tidak akan mengangkat IM menjadi dosen atau jabatan lain di universitas.
"Kampus saat ini telah mencabut gelar mahasiswa berprestasi yang diberikan kepada IM. Namun, tidak cukup hanya mencabut gelar mahasiswa berprestasi saja. Jika UII mempunyai standar moral tinggi UII bergerak menuntut UII juga mencabut gelar sarjana arsitek (IM)," kata Paul.
Selain itu, melalui UII bergerak, Paul menegaskan bahwa pelecehan seksual adalah permasalahan semua pihak. UII bergerak juga telah menegaskan akan tetap menyuarakan hak penyintas dan berpegang teguh pada tuntutan mereka.
"UII bergerak juga membuka hotline aduan bagi rekan-rekan mahasiswa atau mahasiswi di UII yang pernah mengalami tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh IM. Dan kami menerima 7 aduan yang sampai saat ini masih komunikasi dengan UII bergerak," ujar Paul.
Liputan khusus tentang kasus pelecehan seksual di kampus Jogja ini ditulis tim Suarajogja.id, Muhammad Ilham Baktora dan Nurhadi