SuaraJogja.id - Pendemi Covid-19 menjadi wabah yang benar-benar berdampak besar terhadap perekonomian masyarakat. Termasuk Badan Usaha Milki Desa yang ada di Tridadi, Kecamatan/Kabupaten Sleman.
BUMDes yang bergerak di bidang wisata desa dan pengembangan tanaman hias tersebut sempat merumahkan pegawainya lantaran tak ada pemasukan yang signifikan. Hal itu seperti diakui perangkat desa yang juga mengelola BUMDes Tridadi Makmur, Nurul Amin Iskandar.
Ia mengatakan bahwa BUMDes harus menutup destinasi Puri Mataram selama wabah ini. Walhasil para pegawainya harus dirumahkan karena tak bisa menggaji mereka.
"Tempat wisata itu terpaksa kami tutup dan merumahkan pegawai. Mereka juga merupakan warga Tridadi. Meski lokasi wisata ditutup, biaya perawatan juga tetap keluar. Kami juga berpikir bagaimana caranya bisa mendapat penghasilan sementara kami tak boleh membuka tempat wisata terlebih dahulu karena Covid-19," terang Nurul ditemui wartawan, Selasa (16/6/2020).
Baca Juga:Pengakuan Pelajar Pembawa Celurit Jogja: Tak Ingin Dianggap Penakut
Ditekan oleh keperluan biaya dan perawatan Wisata Puri Mataram yang harus dikeluarkan, ia bersama para pengurus BUMDes mencoba membuat alat yang dibutuhkan masyarakat di tengah pandemi seperti ini.
"Memang ide awalnya hanya iseng. Kami juga melihat di lingkungan BUMDes ini alat cuci tangan masih sedikit. Di tengah pandemi ini kami juga mengurangi kontak fisik dan akhirnya mencoba membuat wastafel tanpa harus menyentuh kran termasuk botol sabun," jelas Nurul di showroom tempat pembuatan wastafel di Desa Paten, Tridadi.
Ia melanjutkan dari ide tersebut, akhirnya dibuat prototipe wastafel yang saat ini dinamai Wastafel Anti Corona.
"Melalui ide dan keisengan ini malah menjadi penghasilan yang cukup baik. Akhirnya kami menarik pegawai (BUMDes) yang bisa mengelas, memotong besi yang kemampuannya bisa menghasilkan wastafel itu," terang pria 36 tahun ini.
Perlahan tapi pasti, inovasi wastafel tersebut terus dimodifikasi pihak BUMDes. Kran wastafel bukan kran air pada umumnya. Nurul menjelaskan pihaknya memilih penyemprot mobil yang dialihfungsikan menjadi kran agar sesuai dengan pedal yang dikaitkan dibelakangnya.
Baca Juga:Bawa Celurit Untuk Tawuran, Pelajar SMP di Jogja Terancam Penjara 10 Tahun
"Jadi sistem kran itu menggunakan pedal yang diinjak dengan kaki. Agar terhindar dari virus yang menempal di kran ketika disentuh tangan. Begitu juga untuk botol sabun, pengguna tidak perlu menekan dengan tangan. Cukup dengan kaki saja," jelas dia.
Sebanyak 15 karyawan dikerahkan untuk membuat wastafel anti Corona. Dalam sehari, BUMDes Tridadi Makmur menargetkan pembuatan wastafel 10 unit. Jika karyawan lembur bisa sampai 15 unit per hari.
"Awalnya belum bisa mencapai target itu karena belum memiliki pola kerja yang baik. Akhirnya terus kami kembangkan hingga bisa memproduksi 10 unit dalam sehari. Karyawan biasa bekerja dari jam 08.00-22.00 wib. Tapi tidak kami batasi jam kerjanya, ketika dia lembur bisa mencapai 15 unit," ungkap dia.
Wastafel anti Corona dibuat dengan berbagai varian. Fungsi dan cara penggunaannya masih sama ditekan menggunakan kaki.
"Ada tiga varian, paling kecil ukuran 2x4 meter yang paling banyak diminati. Kami hargai sebesar Rp 750 ribu. Varian kedua ukuran 4x4 meter kisaran harga Rp 850-900 ribu. Varian terakhir yang paling besar menggunakan hak tampungan yang besar. Kami hargai Rp 1,2 juta," kata dia.
Hingga kini pihaknya masih memproduksi wastafel tersebut. Prediksinya hingga Agustus-September, BUMDes masih tetap membuat wastafel.
"Sebenarnya ini hanya momen saja, mungkin setelah Corona hilang dan kembali normal, usaha ini bisa jadi tidak dilanjutkan. Tapi hingga Agustus-september 2020 masih ada permintaan," terang dia.
Kebanyakan permintaan datang dari instansi pendidikan. Pengiriman biasa dilakukan ke wilayah, Sleman, Bantul Jakarta, Jawa Tengah dan sebagaian Jawa Timur.
"Sebelumnya sempat ada permintaan ke Makassar dan Palembang, tapi karena terbentur jarak masih kami koordinasikan lagi," ungkapnya.
Salah seorang pegawai BUMDes, Lumaksono (47) mengakui selama dirinya tak bekerja dua bulan, cukup stress karena tak ada pemasukan. Ketika BUMDes berinovasi dan mendapat pekerjaan membuat wastafel, saat ini dirinya lebih tenang.
"Saya dua bulan bingung mencari pemasukan darimana. Bantuan dari pemerintah juga dapat tapi tak bisa mengover seluruh kebutuhan. Akhirnya saya meminta pekerjaan di BUMDes ini dan ikut membuat wastafel. Alhamdulilah pendapatannya cukup," kata pria yang masih terdaftar sebagai pegawai di Puri Mataram ini.
Ia menerangkan bahwa dalam seminggu bisa mengantongi upah sebesar Rp1 juta. Itu dia lakukan hingga lembur.
"Hasilnya cukup untuk keluarga, jadi pegawai yang dirumahkan bisa kembali menghidupi keluarga. Karena memang dua bulan ini kami tak ada pemasukan," katanya.